Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XIX (1): Kajian Naskah & Penguatan Keindonesiaan

Manassa
0

Pada tanggal 7-9 Agustus 2023, ratusan sarjana dari dalam dan luar negeri berkumpul di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Mereka mendiskusikan tentang temuan-temuan terbaru mengenai pernaskahan di Nusantara. Banyak hal yang dibincangkan dan bermuara pada satu hasrat, yakni bagaimana kajian-kajian naskah Nusantara berkontribusi terhadap penguatan keindonesiaan. Wartawan “PR” Hazmirullah melaporkan untuk Anda. Selamat membaca.

“Bulan Juli-Agustus, mereka biasanya butuh uang, terutama untuk menyekolahkan anak. Pada saat itulah, praktik penjualan naskah-naskah kuno marak terjadi di Aceh”. Hermansyah merasa masygul. Pasalnya, persoalan klasik penjualan naskah-naskah kuno di Provinsi Aceh masih terus terjadi hingga kini.

“Biasanya, naskah-naskah dari Aceh itu dijual kepada para kolektor yang ada di Medan, Riau, dan juga ke Malaysia. Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki keinginan untuk mengakuisisi naskah yang disimpan oleh masyarakat. Masalahnya, anggaran turun pada saat yang tidak tepat, yakni September-Oktober,” kata Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Komisariat Aceh itu, Senin (7/8/2023). Ia mengungkapkan hal itu dalam salah satu panel diskusi pada perhelatan Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara (SIPN) XIX.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah memahami situasi tersebut, lalu mengambil kebijakan yang tepat untuk mencegah terjadinya praktik penjualan naskah. Apalagi, menurut dia, praktik ini tak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di banyak daerah lain di Indonesia. “Kita tahu bahwa naskah menyimpan begitu banyak pengetahuan dari masa silam, tetapi masih relevan dengan masa kini. Ini sangat berharga,” tuturnya.

Persoalan lain yang mengemuka adalah minimnya perhatian terhadap para pemilik naskah-naskah kuno. Setakat ini, sebagian dari mereka merasa hanya dijadikan sebagai objek penelitian. “Setelah dikunjungi, diwawancarai, lalu mereka ditinggal begitu saja,” ujar Turita Indah Setyani, dosen Sastra Jawa di Universitas Indonesia. Pada sesi yang sama, ia menceritakan pengalamannya mengunjungi para pemilik naskah di Jawa Timur.

“Tak jarang, ketika peneliti berikutnya berkunjung, mereka akan ketus bertanya, ‘Mau ngapain lagi?’ Saya kira, ini tak boleh lagi terjadi. Para pemilik naskah ini harus dijadikan sebagai mitra, bukan lagi sekadar objek penelitian. Kapasitas mereka harus ditingkatkan melalui berbagai macam pendidikan dan pelatihan. Tak hanya mereka, tetapi juga keturunan mereka. Bila perlu, sediakan beasiswa untuk anak-anak para pemilik naskah ini,” ucapnya.

Arti penting
Menurut Arsanti Wulandari, Ketua Panitia SIPN XIX, event dua tahunan yang digelar oleh Manassa ini memiliki arti penting. Pasalnya, kegiatan itu menjadi ajang pertemuan akbar para sarjana untuk mendiskusikan temuan-temuan terbaru mengenai pernaskahan di Nusantara. “Simposium ini juga membuka kesadaran kita tentang potensi kerja sama untuk mencapai kemajuan dalam kajian filologi di Indonesia dengan pendekatan yang lebih inovatif. Hal ini mengingatkan kita bahwa penting bagi kita semua untuk mengintegrasikan disiplin ilmu kita dengan bidang-bidang lain untuk memperkuat keindonesiaan,” katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, kajian-kajian terhadap naskah Nusantara sudah saatnya diperkuat dengan pendekatan lintas budaya. Apalagi, sejarah identitas di Nusantara terbentuk lewat integrasi antaretnis dan budaya, sebagaimana tercatat dalam banyak naskah Nusantara bahwa integrasi sosial terjadi lewat perkawinan, perdagangan, politik, dan migrasi. “Kami berharap, diskusi melalui simposium ini dapat membantu kita semua untuk menggapai identitas keindonesiaan yang lebih beragam, tetapi tetap inklusif dan harmonis,” tuturnya.

Hal senada dinyatakan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Menurut dia, nenek moyang bangsa Indonesia menjadikan naskah sebagai sarana untuk merekam berbagai peristiwa dan fenomena yang mereka alami pada masa lampau. “Kita dapat menyebutnya sebagai Indonesia indigenous knowledge. Oleh karena itu, menjadi keharusan buat kita semua untuk melestarikan, mempelajari, dan mengembangkan apa yang terkandung di dalam naskah. Tentu saja, semua itu ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan dan kemajuan bangsa,” ucapnya dalam sambutan pada pembukaan simposium, Senin (7/8/2023).

Pada kesempatan itu, ia mengingatkan bahwa pengetahuan yang terdapat di dalam naskah-naskah kuno itu harus dinikmati oleh semua kalangan. Oleh karena itu, presentasi hasil kajian naskah juga harus memanfaatkan teknologi. “Teknologi digital hari ini berkembang begitu pesat. Jika sebelumnya terbatas pada mendigitalkan atau mengautomasi dokumen, hari ini, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), augmented reality (AR), dan sebagainya, dapat membantu pekerjaan analisis dan kreatif. Teknologi AR memungkinkan naskah-naskah kuno menjadi lebih mudah diakses dan dapat dipelajari dengan cara yang fun (menyenangkan) bagi siapa pun,” katanya.


Kontribusi nyata
Simposium edisi ke-19 kali ini mengambil tema besar “Penguatan Keindonesiaan melalui Kajian Naskah Nusantara”. Selain itu, terdapat pula sembilan subtema, yakni fenomena silang budaya dalam naskah Nusantara; humaniora digital dan kajian naskah Nusantara; alam dan naskah Nusantara; isu-isu mutakhir dalam penelitian filologi; etnosains bagi kajian naskah Nusantara; kajian naskah Nusantara dan persoalan pembangunan berkelanjutan; preservasi dan konservasi naskah Nusantara; reportase, desas-desus, dan hoaks dalam naskah Nusantara; serta naskah Nusantara dan industri kreatif.

“Melalui subtema-subtema ini, para peneliti menjelajahi nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam naskah-naskah Nusantara, mengaplikasikannya dalam pembangunan berkelanjutan, serta memperkuat rasa kebangsaan dan keindonesiaan. Selain itu, simposium ini juga ingin mengajak para peserta untuk menerima modernitas sebagai pengayaan bagi kekayaan budaya klasik Indonesia tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal yang telah menjadi identitas bangsa selama berabad-abad. Hal ini mencerminkan sikap keterbukaan bangsa Indonesia dalam menghadapi perkembangan zaman sambil tetap mempertahankan akar budayanya,” tutur Arsanti.

Hal ini menunjukkan bahwa naskah Nusantara dapat didekati dari berbagai ilmu dan sudut pandang. Salah satu kajian menarik diketengahkan oleh Indah Puspita Rukmi dari Universitas Pertahanan. Ia menemukan konsep pertahanan rakyat semesta di dalam naskah-naskah Nusantara. “Ada tiga naskah yang saya gunakan, yakni Syair Perang Mengkasar, Syair Perang Siak, dan Hikayat Prang Sabil. Semuanya ditulis pada abad ke-19. Padahal, kita tahu, konsep ini digunakan oleh Pak A.H. Nasution dan menjadi cikal bakal sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata),” katanya.

Sudibyo, Ketua Manassa Komisariat Yogyakarta, menuturkan bahwa kajian terhadap naskah Nusantara memiliki arti penting dalam menegakkan martabat dan memperkuat memperkuat Indonesia. Bagaimanapun, teks-teks yang terdapat di dalam naskah harus dibumikan. “Apalagi, nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah tersebut pasti memiliki relevansi dengan masa kini dan mendatang. Dengan demikian, para pakar naskah memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa ini,” tuturnya. (Hazmirullah/”PR”)***

Artikel ini sudah dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Jumat, 11 Agustus 2023
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !