Wacana Kekuasaan Kolonial Abad XIX pada Naskah Undang-Undang Ternate

Manassa
0
Ringkasan Disertasi Priscila Fitriasih Limbong
Universitas Indonesia

Penelitian ini mengkaji naskah Undang-Undang Ternate (selanjutnya disingkat UUT) koleksi peti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pengkajian naskah UUT ini dilakukan dengan cara kerja filologi, yang meliputi aspek naskah (kodikologi) dan teks (tekstologi). Kedua aspek ini berkerja sama mengungkap makna teks UUT yang dikaji.

UUT berjumlah lima naskah, yaitu naskah A, naskah B, naskah C, naskah D, dan naskah E. Berdasarkan perbandingan kelima naskah tersebut, ditemukan hanya ada dua naskah yang memiliki kemiripan isi tetapi kedua naskah ini tidak identik. Kedua naskah yang memiliki kemiripan ini, yaitu naskah C dan naskah E. Dari kedua naskah ini, kemudian penulis memilih naskah UUT naskah C sebagai naskah dasar. Penulis mengambil naskah tersebut sebagai naskah dasar untuk edisi teks karena naskah ini lebih lengkap daripada naskah E. Penulis membuat edisi teks naskah ini dengan menggunakan metode edisi landasan. Metode landasan ini digunakan sebagai metode edisi teks karena naskah C lebih unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah E dilihat dari aspek kelengkapan struktur teks. Struktur naskah C memiliki surat tentukan dan pernyaaan surat tambahan yang tidak terdapat pada naskah E. Selain menggunakan naskah-naskah tersebut, untuk mendukung pembuktian di dalam kajian penelitian ini menggunakan naskah F, G, H, dan I. Naskah-naskah ini dipilih karena berasal dari periode penulisan yang sama dan ditulis pada masa pemerintahan sultan yang sama.

Teks UUT merupakan teks yang menggambarkan situasi pada masa kolonial. Naskah UUT merupakan naskah yang ditulis pada tahun 1351 H (1884 M). Teks ini berisi pasal-pasal aturan yang bertujuan mengendalikan wilayah kekuasaan. Aturan yang tertulis dalam pasal-pasal tersebut diikuti dengan perjanjian dan sumpah jabatan. Pihak-pihak yang terlibat di dalam teks ini adalah Belanda, Ternate, dan Tambuku.

Struktur wacana UUT terdiri atas struktur makro, superstruktur, dan stuktur mikro. Struktur makro UUTadalah pengangkatan raja dan perjanjian yang menyertai pengangkatan tersebut. Pengangkatan raja ini dilatarbelakangi pemberontakan yang dilakukan oleh Donke Kambe yang merupakan Raja Tambuku. Pemberontakan dilakukan oleh Tambuku karena penindasan dan pemerasan yang dilakukan oleh utusan Ternate. Pemberontakan itu dilakukan atas kerja sama dengan orang Bugis dan kerajaan Banggai. Berkaitan dengan itu, Belanda membuat teks UUT. Teks ini diproduksi sebagai bentuk antisipasi pemberontakan-pemberontakan berikutnya. Teks UUT ini secara samar menyiratkan kekhawatiran Belanda terhadap kekuatan Tambuku dan jaringan kerja sama Tambuku dengan wilayah lain.

Wacana superstruktur dalam teks UUT memperlihatkan struktur teks yang terdiri atas exordium, isi, penutup, dan lampiran. Bagian exsordium memperlihatkan posisi hubungan Ternate dengan Hindia Belanda. Bagian isi teks UUT terdiri atas 13 pasal yang berisi pernyataan perjanjian Tambuku berikut bobato, anak kaicil-kaicil, para pegawai-pegawai, dan para pejabat kerajaan. Aspek yang diperjanjikan menyangkut aspek politik, hukum, dan ekonomi. Isi pasal-pasal ini pada dasarnya berisi regulasi yang memperlihatkan dominasi Belanda terhadap Ternate dan Tambuku. Dominasi kekuasaan yang berhasil diidentifikasikan berbentuk intervensi Belanda dalam mengubah sistem pergantian kekuasaan, mengatur masalah diplomasi Ternate dan Tambuku, mengubah sistem hukum Tambuku yang dianggap Belanda terlalu berat, serta mengatur perdagangan Tambuku.

Bagian penutup naskah berisi pernyataan sumpah dari Tambuku di atas alquran dan dikuatkan secara administratif di atas materai dan cap kerajaan. Adapun bagian lampiran berisi dua surat, yaitu surat tentukan dan pernyataan surat tambahan. Surat tentukan berisi deskripsi pengangkatan Raja Tambuku di hadapan Sultan Ternate dan Residen Ternate. Di dalam surat tentukan ini juga terdapat informasi bahwa Belanda yang menjadi penganjur dibuatnya teks perjanjian ini dan perjanjian ini ditulis oleh juru tulis Belanda dari Algemeene Secretarie. Pernyataan surat pertambahan berisi sembilan belas perjanjian yang dinyatakan oleh Tambuku. Di akhir pernyataan surat pertambahan ini terdapat cap kerajaan Tambuku yang diterakan sebagai penanda legalisasi perjanjian. Posisi cap yang diterakan dalam pernyataan surat pertambahan ini memperlihat bahwa posisi kedudukan Tambuku berada di bawah Residen Belanda dan Kerajaan Ternate.

Struktur mikro teks UUT ini memperlihatkan teks ini diproduksi Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya. Mekanisme peneguhan kekuasaan ini terlihat pada elemen nominalisasi yang memperlihatkan adanya upaya Belanda UUT untuk melakukan formalisasi konsep perbuatan, perjanjian, pekerjaan, dan pengetahuan dengan tujuan memperkuat posisi dan relasi antara Belanda, Ternate, dan Tambuku. Posisi dan relasi antara Belanda, Ternate, dan Tambuku dalam UUT menjadi tidak seimbang. Dalam teks ini Belanda mendominasi relasi. Kondisi yang tidak seimbang ini berusaha diinstitusionalkan Belanda melalui konsep teks perjanjian.

Peneguhan dan dominasi kekuasaan pada UUT juga terlihat dalam penggunaan kalimat. Bentuk kalimat yang terdapat pada UUT merupakan kalimat perintah yang berisi larangan jangan sekali-kali dan tiada boleh. Bentuk kalimat larangan ini mendominasi isi teks. Bentuk dominasi ini dilakukan sebagai usaha membatasi secara tegas hak politik dan ekonomi Tambuku. Dominannya bentuk kalimat larangan pada teks ini mencerminkan dominannya Belanda dalam mengendalikan Ternate dan Tambuku. Dominasi ini dilakukan Belanda secara instruktif dengan tujuan menghindari perlawanan dari pihak-pihak yang ingin Belanda kendalikan.

Elemen leksikon pada teks UUT memperlihatkan Belanda melakukan positioning yang terlihat pada pemilihan kata mengaku, memegang, qaul wa’ad perjanjian, takluk, setiawan, dan maha kuasa. Pilihan kata tersebut memiliki makna yang mengarah pada upaya untuk memberikan efek kepatuhan dan penyerahan diri Tambuku kepada Ternate dan Belanda, memberikan tanggungjawab yang besar kepada Ternate, memperlihatkan posisi Belanda di antara Ternate dan Tambuku, dan memberikan efek intimidasi terhadap Ternate dan Tambuku.

Pada elemen retoris, Belanda sengaja menempatkan elemen-elemen grafis berupa simbol-simbol kekuasaan yang penempatannya bermakna Belanda pada level tertinggi di antara Ternate dan Tambuku. Selain itu, pemakaian metafora Sri Paduka, Kanjeng Government, dan Ayahanda sebagai sebutan kehormatan bagi Belanda, memperlihatkan Belanda ingin ditempatkan sebagai pihak yang superior.

Dominasi kekuasaan juga terlihat dalam bentuk regulasi. Regulasi yang terdapat pada teks UUT ini meliputi regulasi politik, hukum, dan ekonomi yang terlihat pada elemen superstruktur. Regulasi politik meliputi pembatasan hubungan diplomatis antara Tambuku dan wilayah-wilayah lain serta kewajiban politis Tambuku terhadap Belanda dan Ternate. Regulasi hukum terlihat dari perubahan mekanisme pemilihan raja yang sengaja diubah untuk kepentingan Belanda. Selain itu, penghapusan bentuk hukuman qisas, rajam, dan ziladah juga diatur demi kepentingan Belanda atas nama kemanusiaan. Regulasi di bidang ekonomi terlihat pada pembatasan urusa perdagangan dan ketentuan menyerahan upeti. Pada dasarnya regulasi-regulasi tersebut merupakan mekanisme sistematis Belanda untuk mengatur, mengikat, membuat patuh, dan menguasai wilayah jajahannya dalam hal ini, pemerintahan Ternate dan pemerintahan Tambuku.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !