Mengenal Kisah Leluhur dari Tanah Batak

Manassa
0


 

Judul: Nonang Siriburon: Deskripsi, Teks, Terjemahan, dan Suntingan [Alih Bahasa]

Penulis: Nikson Sihombing & Yosua Victor Sebastianta Purba

Penerbit: Perpustakaan Nasional RI

Tahun Terbit: 2020

Tebal Halaman: 126 hlm

Reviewer: Nursaadah , Treisa Rany Siburian.


Nonang Siriburon merupakan buku alih bahasa dari salah satu naskah bersejarah dari Tanah Batak berjudul “Nonang Siriburon”. Buku ini memuat deskripsi naskah, alih aksara, dan terjemahan teks ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2020, 126 halaman, dan ditulis oleh Nikson Sihombing dan Yosua Victor Sebastianta Purba. 


Teks dalam naskah Nonang Siriburon yang dibahas secara rinci dalam buku ini secara garis besar menceritakan kisah yang telah diwariskan turun-temurun di Tanah Batak, baik mengenai legenda tentang bagaimana dunia diciptakan maupun beberapa kisah jenaka. Kisah-kisah yang terkandung dalam naskah ini sangat khas karena sebagian besar berlatar belakang di Tanah Batak pada zaman dahulu. Hal ini menggambarkan judul naskah tersebut, yakni Nonang Siriburon yang memiliki arti: “Cerita Penghibur”. 


Naskah asli dari Nonang Siriburon ditulis oleh Arsenius Lumbantobing dan merupakan koleksi Perpustakaan Nasioal Republik Indonesia dengan kode VT 151. Kisah dalam naskah ini diawali dengan salam pembuka  berupa permintaan maaf dari Sang Penulis kepada para pembaca terhadap kekurangan dan kesalahan yang mungkin ada dalam tulisannya, serta ucapan salam dari penulis, dengan harapan bahwa para pembaca dapat menikmati kisah-kisah yang terkandung dalam naskah. Setelah salam pembuka tersebut, kisah pertama dimulai dengan cerita berjudul “Nonang Siriburon: Hatotonpa ni Tano on”, yang berarti “Cerita Penghibur: Awal Mula Terjadinya Tanah ini”. 


Kisah mengenai terjadinya Tanah Batak yang merupakan kisah pertama dalam naskah Nonang Siriburon diawali dengan Tuhan di tempat teratas bernama Mula Jadi Na Bolon, dengan kedua anaknya yang bernama Si Boru Deak Parujar dan Si Boru Deang na Gurasta. Kedua anak dari Mula Jadi Na Bolon bekerja mengolah kapas menjadi benang, untuk nantinya ditenun menjadi ulos. Setiap hari, mereka berdua melakukan pekerjaan tersebut di atas rumah Mula Jadi Na Bolon, selama tujuh tahun, tujuh bulan, dan tujuh hari. Saat itu, di zaman dahulu sekali, Tanah Batak ditutupi oleh air yang berlimpah hingga tidak ada yang bisa tinggal. Satu-satunya penghuni hanyalah Raja Padohani ni Adji, naga si tujuh tanduk, yang merupakan makhluk berbentuk mirip manusia namun sebenarnya bukan manusia. 


Suatu hari, ketika sedang mengolah kapas seperti yang biasa dilakukan, alat pemintal benang yang sedang digunakan oleh Si Boru Deak Parujar jatuh dari tangannya, jauh sekali hingga sampai ke dunia bawah, yakni dunia tempat tinggal umat manusia sekarang. Si Boru Deak Parujar tersesat di dunia bawah dan tidak bisa kembali ke dunia atas. Akhirnya, di tengah perasaan risau, Si Boru Deak Parujar menitipkan pesan kepada Si Untung-untung na Bolon, seekor burung pengantar, untuk dititipkan kepada sang Ayah—sang Tuhan. Si Boru Deak Parujar meminta diberikan segenggam tanah dari dunia atas agar ia bisa menciptakan tanah tempat tinggal di dunia bawah, karena ia sudah tidak tahan terombang-ambing di derasnya air yang memenuhi wilayah sekitarnya. 


Si Untung-untung na Bolon kembali membawakan segenggam tanah untuk Si Boru Deak Parujar, dan terbentuklah tanah di pijakannya yang bisa ia huni. Lama-kelamaan, tanah yang awalnya hanya sedikit mulai menjadi semakin lebar dan luas. Raja Padoha Ni Adji, sebagai penghuni satu-satunya pun merasa terancam, karena limpahan air tempat ia tinggal mulai menipis ditutupi oleh tanah. Sang raja pun berpikir untuk merusak tanah yang telah dibuat oleh Si Boru Deak Parujar. Jadi, ia ayunkan seluruh lautan dan hancurlah tanah yang sebelumnya telah meluas dan menjadi tempat tinggal Si Boru Deak Parujar. Enam kali Si Boru Deak Parujar berusaha menciptakan tanah di dunia bawah, enam kali pula Raja Padoha Ni Adji berusaha menggagalkan rencananya. Hingga suatu ketika, di percobaan ketujuh, Si Boru Deak Parujar mendapatkan ide untuk menaklukkan Raja Padoha Ni Adji, agar ia bisa kembali menciptakan tanah pijakan di dunia bawah dan menjalankan kehidupan barunya. Singkat cerita, ide dari Si Boru Deak Parujar berhasil, dan begitulah kisah tentang bagaimana salah satu anak dari Mula Jadi Na Bolon menciptakan tanah yang kini menjadi  Tanah Batak.


Selain kisah tentang terbentuknya Tanah Batak tersebut, terdapat kisah-kisah lainnya yang juga turut dibahas dalam naskah Nonang Siriburon, setiap kisah dengan keunikannya masing-masing. Dalam proses alih bahasa naskah dari Bahasa Batak ke Bahasa Indonesia, penulis berusaha untuk membuat terjemahan yang sedekat mungkin kepada bahasa sumber, namun juga tetap memperhatikan aspek sastrawi yang terkandung di naskah asli. Hal ini dilakukan penulis agar para pembaca dapat memahami arti dari naskah Nonang Siriburon, termasuk di antaranya yang tidak memiliki pengetahuan dasar mengenai sejarah, sistem kekerabatan, dan budaya Batak. 


Lewat alih bahasa naskah Nonang Siriburon ini, Nikson Sihombing dan Yosua Victor Sebastianta Purba berharap agar legenda dan kisah yang terkandung dalam naskah ini dapat dilestarikan, agar tidak pudar tersapu oleh zaman. Kedua penulis juga berharap agar dengan diterbitkannya buku alih bahasa ini, masyarakat luas dapat mengetahui salah satu peninggalan leluhur yang bernilai tinggi, dan dapat menghargai serta membantu melestarikannya agar terus terjaga, hingga bertahan ke generasi-generasi berikutnya. ***

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !