Membumikan Kisah Bujangga Manik melalui Saduran

Manassa
0


 

 Judul: Bujangga Manik: Lelaki yang Meniti Jalan Sunyi [Saduran]
Penulis: Deni Ahmad Fajar
Penerbit: Perpustakaan Nasional RI
Tahun Terbit: 2020
Tebal Halaman: 100 hlm
Oleh: Munawar Holil

Bujangga Manik merupakan salah satu naskah beraksara dan berbahasa Sunda kuno yang unik dan menarik. Naskah yang ditulis pada daun nipah atau gebang ini berisi kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengeliling Pulau Jawa dan Bali. Uniknya, naskah yang ditulis dalam bentuk puisi naratif ini tidak disimpan di Indonesia, atau di Tatar Pasundan, tetapi sejak tahun 1627 naskah satu-satunya ini (codex unicus) disimpan di Perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford, Inggris.

Kajian terhadap naskah Bujangga Manik pertama kali dilakukan oleh Noorduyn (1982) melalui publikasi artikelnya dalam majalah ilmiah Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde/ Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 138 (4): 413–42 dengan judul “Bujangga Manik’s Journeys through Java; Topographical Data from an Old Sundanese Source.” Artikel ini menyebar luas di Indonesia melalui terjemahan Iskandarwassid (1984) yang berjudul “Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: data topografis dari sumber Sunda Kuno”. Publikasi berikutnya terhadap Bujangga Manik terbit dalam bentuk buku berjudul Three Old Sundanese Poems (2006) karya Noorduyn dan Teeuw. Karya ini pada tahun 2009 terbit dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesia berjudul Tiga Pesona Sunda Kuno. Perhatian terhadap Bujangga Manik ternyata tidak berhenti sampai pada karya tersebut. Pada tahun 2021, Alexander Joseph West berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Bujangga Manik: or, Java in the fifteenth century: an edition and study of Oxford di Universitas Leiden, Belanda.

Perhatian terhadap Bujangga Manik yang relatif cukup besar tersebut tidak serta-merta membuat naskah ini dikenal luas di masyarakat umum. Kajian-kajian yang sudah dilakukan terhadap Bujangga Manik lebih banyak ditujukan untuk kalangan akademis. Oleh sebab itu, terbitnya buku berjudul Bujangga Manik: Lelaki yang Meniti Jalan Sunyi sangat menarik untuk disimak. Buku ini merupakan sebuah saduran naskah Bujangga Manik dalam bentuk naratif ditulis oleh Deni Ahmad Fajar dan diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2020. Buku setebal 100 halaman ini dikemas dengan baik. Awal cerita dimulai dengan perjalanan Pangeran Istana Pakuan yang meninggalkan kehidupannya sebagai seorang pangeran untuk menjadi seorang rahib atau pertapa. Cerita dibagi menjadi 9 bagian, dengan masing-masing bagian menceritakan perkembangan perjalanan dari Pangeran Istana Pakuan tersebut, disertai dengan serangkaian tantangan, pengalaman, dan ilmu yang didapatnya selama mengembara.


Cerita Bujangga Manik diawali dengan kisah seorang pangeran Istana Pakuan bernama Jaya Pakuan yang hendak memulai perjalanannya meninggalkan istana untuk pergi ke timur. Jaya Pakuan merasa terkungkung dan tidak betah tinggal di istana sehingga membuatnya memilih untuk menjadi seorang rahib dan mendorong keputusannya melakukan perjalanan panjang, seperti ziarah, ke tempat-tempat suci di arah timur—tepatnya Tanah Jawa, serta mencapai akhir kehidupan yang baginya sempurna dan telah ia dambakan. Satu hari yang terik dan tandus, Pangeran Jaya Pakuan pun memulai perjalanannya yang membuat banyak rakyat terheran-heran dibuatnya. Muncul begitu banyak spekulasi, mulai dari yang sekadar penasaran hingga ke pemikiran yang lebih negatif. Pangeran Jaya Pakuan dapat mendengar bisikan-bisikan penasaran tersebut seiring langkahnya, namun ia tetap berpegang teguh pada tekadnya untuk menjadi seorang rahib serta terlepas dari kungkungan kehidupan di kerajaan.


“...Seandainya kalian tahu, aku sebenarnya ingin selamanya bersama kalian, di Tanah Pakuan. Tapi, kalian warga Pakuan harus tahu…aku Pangeran Jaya Pakuan punya mimpi yang harus diwujudkan. Mimpi yang harus kukejar ke banyak tempat dan untuk itu aku harus pergi. Aku harus pergi meninggalkan kalian, meninggalkan ibu, meninggalkan istana, meninggalkan Pakuan…” Pangeran Jaya Pakuan bergumam, dan terus melangkah demi melanjutkan perjalanan panjangnya mencapai kehidupan yang didambakan, dengan akhir penuh kemuliaan dan kesempurnaan.


Kisah perjalanan Pangeran Jaya Pakuan dalam cerita Bujangga Manik ini sebenarnya memiliki alur yang linier dan tidak banyak menghadirkan tokoh-tokoh lain dalam cerita, di luar beberapa tokoh yang muncul untuk mewarnai perjalanan dan memiliki peran yang erat kaitannya dengan keseluruhan alur perjalanan atau kehidupan dari Pangeran Jaya Pakuan. Terlepas dari cerita yang linier dan tokoh yang sedikit tersebut, terdapat banyak pesan yang dapat diambil dalam cerita Bujangga Manik ini, salah satunya adalah mengenai keteguhan hati serta sifat pantang menyerah Sang Pangeran demi mencapai kehidupan yang ia dambakan hingga akhir.


Berbicara tentang penulis, Deni Ahmad Fajar sejak dulu memang sudah sangat menyukai cerita Bujangga Manik ini, terlebih karena cerita ini sering menjadi pembahasan dalam diskusi di “Rawayan”, yakni kelompok studi bahasa Bandung yang diikuti oleh Deni. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak teman Deni di Rawayan yang menantangnya untuk menyadur cerita Bujangga Manik tersebut, dan Deni pun menyanggupi. Tidak hanya didasari tantangan dari teman-teman satu kelmpok studi, keinginan Deni untuk menyadur cerita Bujangga Manik ini pun semakin meluap setelah ia mengetahui bahwa cerita ini merupakan salah satu kepingan sastra Sunda kuno yang berharga.


Proses penyaduran cerita Bujangga Manik sepenuhnya bersumber dari suntingan teks dan terjemahan naskah dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuno karya A. Teeuw dan J. Noorduyn, yang kerap pula mendorong keinginan Deni dalam melakukan penyaduran cerita yang sangat ia sukai ini. Sebenarnya, terdapat naskah asli Bujangga Manik yang mungkin bisa saja berusaha disadur oleh Deni, namun sayangnya naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris, dan apabila Deni memiliki akses terhadap naskah asli dri Bujangga Manik, akan menjadi tantangan besar pula baginya untuk membaca, menerjemahkan, serta menyadur naskah beraksara dan berbahasa Sunda Kuno ini.


Bagi Deni, cerita Bujangga Manik merupakan cerita yang relatif pendek, namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap kemudahan proses penyadurannya. Sempat terdapat beberapa permasalahan serta tantangan yang dihadapi Deni sepanjang prosesnya, salah satunya adalah terdapat bagian-bagian cerita yang tidak lengkap, bahkan termasuk pula akhir ceritanya. Namun, terlepas dari kesulitan tersebut, Deni berhasil menyelesaikan buku saduran berjudul  Bujangga Manik: Lelaki yang Meniti Jalan Sunyi yang bersumber dari naskah Sunda Kuno Bujangga Manik.
Demi menuturkan kisah kuno yang dapat menyasar ke banyak golongan usia pembaca, Deni menerapkan teknik penyaduran dengan cara selonggar-longgarnya, demi dapat menghasilkan runtutan kisah yang lebih menarik, praktis, serta memudahkan pemahaman bagi para pembaca awam, terutama kaum milenial dan kelompok generasi setelahnya.


 Terdapat beberapa penambahan dialog atau cerita yang disisipkan Deni, namun tambahan-tambahan tersebut tidak sepenuhnya mengubah jalan cerita dan alih-alih justru membantu memberi warna ke dalam alur kisah perjalanan sang Bujangga Manik dalam mencapai puncak kehidupan yang didambakannya, yakni kehidupan yang berahir dengan penuh kemuliaan dan kesempurnaan. ***

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !