Cultural Broker dalam Digitalisasi Naskah

Manassa
0

Oleh:  Tantry Widiyanarti*

 

Digitalisasi naskah adalah memindahkan konten naskah dari bentuk fisik naskah ke dalam format digital yang dilakukan oleh petugas digitalisasi. Upaya ini dilakukan untuk menyelamatkan naskah terutama konten naskahnya jika fisik naskah rusak atau hilang. Penyelamatan isi naskah dengan menggunakan media digital disebut dengan digitalisasi.

Untuk melakukan digitalisasi naskah, bukanlah suatu hal yang mudah apalagi jika naskah tersebut merupakan milik masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa hambatan, Adapun hambatan tersebut terdiri atas beberapa sebab. Pertama, kondisi naskah yang rusak sehingga tidak dapat didigitalisasi. Kedua, karena sulitnya petugas digitalisasi mendapatkan akses pada naskah, sehingga naskah tidak ditemukan dan digitalisasi menjadi gagal. Ketiga, karena keyakinan atau kepercayaan pemilik naskah terhadap naskah yang dimilikinya. Naskah dianggap sakral mengandung nilai mistis, sehingga takut, enggan dan sangat hati-hati sekali memperlakukan naskah yang mereka miliki termasuk untuk melakukan digitalisasi. Keempat, munculnya kecurigaan yang timbul dari pemilik naskah pada petugas digitalisasi. Mereka khawatir naskah yang mereka miliki diambil, disalahgunakan oleh pendigital sehingga mereka enggan untuk mengizinkan petugas digitalisasi melakukan pekerjaannya. Kelima, karena ketidakpahaman pemilik naskah tentang pentingnya digitalisasi sehingga mereka menganggap digitalisasi tidak perlu dilakukan.

Hambatan-hambatan tersebut harus mampu diatasi oleh petugas digitalisasi dengan cara-cara yang dapat diterima oleh pemilik naskah. Biasanya petugas digitalisasi akan melakukan strategi khusus, yaitu dengan mencari penghubung yang mampu menjembatani antara petugas digitalisasi dengan pemilik naskah sehingga hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dan digitalisasi naskah dapat terwujud.

Untuk meniadakan hambatan-hambatan tersebut diperlukan kepiawaian dalam berkomunikasi yang harus dimiliki oleh penghubung tersebut. Salah satu hambatan yang sering kali terjadi adalah hambatan dalam berkomunikasi. Seringkali terjadi kesalahpahaman, ketidakpercayaan, rasa curiga, antara petugas digitalisasi dengan petugas digitalisasi, karena itu penghubung diperlukan. Penghubung ini yang kemudian disebut dengan cultural Broker. Cultural broker akan bertindak sebagai mediator sekaligus negosiator. Cultural broker bisa berasal dari penduduk setempat atau juga bisa dari penduduk luar, bahkan cultural broker juga kadang berasal dari kalangan akademisi, yang mampu melakukan digitalisasi dan juga mempunyai hubungan tertentu dengan pemilik naskah, sehingga digitalisasi naskah dapat dilakukan tanpa adanya kesulitan yang berarti. Cultural broker mampu berkomunikasi dengan baik pada pemilik naskah sehingga pemilik naskah mengizinkan naskahnya didigitalisasi.

Kepiawaian cultural broker dalam berkomunikasi dengan pemilik naskah membuat pesan komunikasi yang ingin disampaikan oleh petugas digitalisasi dapat dengan mudah disampaikan oleh cultural broker kepada pemilik naskah. Kadang kala disertai dengan negosiasi juga yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemilik naskah. Cultural broker dalam hal ini tidak saja berperan sebagai penghubung namun juga berperan sebagai negosiator dalam digitalisasi naskah. Cultural broker memegang peranan penting agar digitalisasi dapat terwujud.

Pendekatan dan strategi yang dilakukan oleh cultural broker biasanya melalui pendekatan komunikasi budaya, yaitu pendekatan dengan menggunakan komunikasi yang tidak melupakan unsur-unsur budaya di dalamnya serta mengikuti tradisi budaya yang berlaku di tengah masyarakat (pemilik naskah). Pendekatan yang seperti ini dapat diterima warga atau pemilik naskah. Artinya pemilik naskah dapat menerima karena cultural broker mengedepankan tradisi budaya yang berlaku pada masyarakat setempat (pemilik naskah). Cultural broker mampu melakukan komunikasi yang baik sehingga menimbulkan kepercayaan, ketidakkhawatiran dan ketidakraguan dari pemilik naskah pada cultural broker. Jika kepercayaan seperti ini sudah terjadi, maka pesan yang disampaikan oleh cultural broker pada pemilik naskah (terkait digitalisasi sebagai usaha untuk menyelamatkan konten naskah dari kerusakan dan kehilangan), dapat dengan mudah dilakukan dan diterima oleh masyarakat atau pemilik naskah.

Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik ini (yang dimiliki cultural broker) yang mengedepankan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakatnya membuat digitalisasi naskah menjadi mudah dilakukan. Adapun kemampuan komunikasi yang baik (kompetensi) yang dimiliki cultural broker meliputi kompetensi: indigenuous communication, strategi penguatan budaya, dan diskursus budaya pada pemilik naskah. Cultural broker akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik pada pemilik naskah dalam rangka mencapai pemahaman bersama terkait digitalisasi naskah sehingga digitalisasi dapat diterima dan diwujudkan. Dengan demikian maka pesan digitalisasi naskah dapat tersampaikan.

cultural broker saat ikut melakukan digitalisasi naskah

Kemampuan berkomunikasi atau kompetensi komunikasi yang dimiliki cultural broker tersebut selalu diiringi dengan penguatan nilai-nilai budaya lokal seperti: identitas budaya, slogan kelokalan yang terus diulang-ulang, tidak lupa juga diselipkan tentang konsep cinta warisan leluhur, cinta budaya, dan seterusnya, sehingga membuka kesadaran pemilik naskah akan pentingnya digitalisasi, yang dapat menyelamatkan konten naskah miliknya serta menyelamatkan peninggalan budaya leluhur mereka. Kesadaran akan hal ini diperlukan agar proses digitalisasi naskah dapat tercapai. Dengan demikian, cultural broker menjadi hal yang penting dalam digitalisasi naskah.

 

* Penulis adalah Antropolog serta doktor Komunikasi Pembangunan IPB dengan spesialisasi Komunikasi Budaya. Salah satu penelitiannya adalah tentang cultural broker dalam Digitalisasi Naskah


Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !