Perlawanan terhadap kolonialisme, rupanya, tidak hanya dilakukan secara fisik, dengan mengangkat senjata. Seperti yang dilakukan KH Ahmad Arrifai Kalisalak (1786-1870), ibarat menerapkan pepatah “Pena lebih tajam dari pedang”, ia melakukan perlawanan terhadap penguasa kolonial melalui tulisan-tulisannya.
Dan, resiko yang diterima Ahmad Arrifai ini, tidak jauh berbeda dengan mereka yang mengobarkan peperangan melawan penguasa kolonial. Karena karya-karyanya yang dikenal sebagai Kitab-Kitab Tarajjumah itu, Ahmad Arrifai sampai diadili tiga kali, dan akhirnya diasingkan ke Ambon.
“Jadi Beliau tidak terlibat di Perang Jawa (1825-1830). Jadi tidak melakukan perlawanan yang sifatnya militer. Tapi dengan melalui penulisan karyanya dan mengajak orang untuk menjauhi kekuasaan. Itu cara lain yang dilakukan Kiai Rifai dan pengikutnya dalam melawan pemerintah kolonial,” kata M Adib Misbachul Islam, di acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #10, bertema “Perlawanan Terhadap Kolonialisme—Tinjauan Kitab-Kitab Tarajjumah karya KH Ahmad Arrifai Kalisalak”.
Di acara yang digelar oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Jumat (25/1/2019) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, Adib, yang disertasinya tentang salah satu karya Ahmad Arrifai, mengungkapkan bahwa kehidupan Arrifai lebih banyak dihabiskan di pesantren dan di Tanah Suci.
Sosok Ahmad Arrifai yang memang hidup di masa kolonial, pertengahan abad ke-19, menurut Adib, merupakan nama yang tidak asing di sejarah gerakan protes sosial di Jawa. Masa kecil dan muda Ahmad Arrifai dihabiskan di pesantren. Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren di Kaliwungu, Jawa Tengah, ia kemudian melanjutkan studinya ke Tanah Suci sekitar delapan tahun. Dan, kemudian pulang merintis karier sebagai kiai pesantren di Kalisalak, Batang, Jawa Tengah.
“Sepanjang kariernya sebagai kiai pesantren, kira-kira 53 karya yang pernah dia tulis. Dan semuanya ditulis dalam Bahasa Jawa, dan sebagian besar ditulis dalam bentuk puisi atau nazam. Ini luar biasa,” kata Adib, yang merupakan peneliti dan dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Karya-karya Ahmad Arrifai ini meski dikenal sebagai Kitab Tarajjumah, menurut Adib, tidak dikenal adanya babon atau sumber dari kitab tertentu yang dikarang oleh, misal, ulama Timur Tengah, yang kemudian diterjemahkan. Istilah tarjamah ini kesannya memang seolah hanya sebatas terjemahan dari satu bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dan, menariknya, Ahmad Arrifai sendiri yang memberi nama Tarajjumah.
“Jadi saya memahami mengapa Beliau menggunakan istilah Tarajjumah. Pertama, itu sebagai bentuk ketawadukan seorang kiai, yang tidak merasa bahwa dia yang mengarang tapi hanya sebatas menerjemahkan apa yang dihasilkan oleh ulama lain. Itu yang saya pahami semacam itu,” terang Adib.
Tapi setelah diamati oleh Adib, ternyata memang tidak ada kitab sumber yang diterjemahkan. Dan, yang ada hanya berupa referensi dari kitab-kitab kuning. Kemudian oleh Ahmad Arrifai diolah dan dalam banyak hal disesuaikan dengan konteks lokal Jawa Tengah, terutama, pada masa kolonial. Karena itu, menurut Adib, kitab-kitab Tarajjumah sangat kuat dengan muatan lokal.
“Yang kedua, tentu boleh jadi itu bagian strategi Beliau dalam menghadapi represi penguasa pada masa itu. Ini terlihat ketika dia diadili oleh pemerintah kolonial di Pekalongan. Karena kitab-kitabnya kan dirampas dan ditunjukkan bahwa dia itu dianggap menentang pemerintah kolonial,” kata Adib.
Di pengadilan di Pekalongan itu, Ahmad Arrifai memberi alasan bahwa kitab-kitab itu bukan karyanya, karena dia hanya menerjemahkan. Kitab Tarajjumah sendiri, menurut Adib, banyak mengandung gagasan-gagasan yang sangat “kritis” terhadap tatanan sosial yang dibentuk oleh pemerintah pada masa kolonial.
Menurut Adib, di abad ke-19, setelah kemenangan Belanda di Perang Jawa, hampir semua sendi-sendi kehidupan di Jawa dikuasai oleh pemerintah kolonial. Di satu sisi, ada kekhawatiran dari pihak pemerintah kolonial akan bangkitnya kembali kekuatan kaum santri.
Seperti diketahui, Perang Jawa melibatkan kaum santri, kalangan bangsawan dan sebagainya. Jadi ada semacam kekhawatiran. Dan untuk menekan jangan sampai umat Islam itu kembali menjadi ancaman, menurut Adib, maka ada upaya-upaya dari pemerintah kolonial untuk bisa menjinakkan kaum santri dan kalangan bangsawan.
“Oleh karena sebagian kalangan agamawan, sebagian kalangan ulama itu direkrut oleh pemerintah kolonial dimasukkan dalam mesin birokrasi pemerintahan kolonial. Akhirnya sebagian orang-orang santri nantinya masuk menjadi penghulu,” kata Adib.
Demikian pula dengan kalangan priayi, yang sebelumnya berada di bawah raja-raja Jawa, sebagian langsung di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Dan, gaya hidup priayi dari sudut pandang seorang santri, seperti Kiai Rifai, banyak dianggap menyimpang dari ajaran agama. Terlebih mereka kemudian menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah kolonial.
Begitu pula, para penghulu. Mereka yang memiliki ilmu agama, berfungsi melaksanakan sebagian hukum Islam, seperti pelaksanaan pernikahan, urusan harta wakaf, warisan dan sebagainya, mau tidak mau berada di bawah kekuasaan kolonial. Karena mereka sudah masuk di dalam sistem administrasi pemerintah kolonial.
“Jadi konteksnya semacam itu, sehingga kita nanti bisa memahami, kenapa kok Kiai Rifai itu kok sangat keras terhadap kalangan penghulu, kalangan priayi dan kemudian kepada patronnya itu, pemerintah kolonial,” terang Adib.
Nah, di masa seperti itu banyak gerakan-gerakan protes. Gerakan perlawanan terhadap kolonialisme itu, di Jawa, menurut Adib, bisa dipilah menjadi tiga, yaitu yang didasari kepentingan Jihad atau Perang Suci, idiologi gerakan Ratu Adil, dan idiologi Alim Adil.
Para sarjana, menurut Adib, menilai bahwa Kiai Rifai juga mengusung gagasan Ratu Adil. Karena didasarkan pada sejumlah karya Ahmad Arrifai yang selalu menggunakan istilah Alim Adil. Jadi, di satu pihak ada Ratu Adil, dan di pihak lain Kiai Rifai mengangkat Alim Adil.
“Di itu yang selalu digunakan Kiai Rifai sebagai dalih kenapa priayi harus dilawan, harus ditentang, karena dia tidak adil. Kenapa penghulu dia harus dilawan, karena tidak adil,” kata Adib.
Alim, dalam pengertian Ahmad Arrifai, yaitu orang yang memiliki pengetahuan agama. Dan, adil adalah proporsional dalam memutuskan suatu perkara. Adil juga memiliki pengertian tidak melakukan perbuatan dosa besar atau melanggengkan dosa kecil. Alim Adil ada di setiap zaman, dan Alim Adil bisa lebih dari satu.
“Nah, ini yang menurut saya itu membedakan dengan konsep Ratu Adil yang diusung oleh para tokoh-tokoh yang melakukan gerakan protes sosial pada masa itu,” terang Adib yang menyelesaikan doktornya di Universitas Indonesia (UI).
Pengertian Alim Adil dari Ahmad Arrifai itu, menurut Adib, persis dengan pengertian adil dalam kitab fikih. Dan, itu digunakan oleh Ahmad Arrifai untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Termasuk menolak aparat-aparat yang berada di bawah kekuasaannya, seperti priayi dan penghulu, yang diangkat oleh penguasa kolonial.
“Ora mikir gedhene dosa periyayi parek kufur donya laknat kang disengaja asih milahur” (NT:658). Begitu tulis Ahmad Arrifai tentang perilaku para priayi. Jadi, menurutnya, para priayi sudah mendekat kekufuran dan hanya dunia yang mereka kejar.
“Kendhurene periyayi galib dadi pengerutan akeh alim lan haji katut maksiatan” (NT: 2798). Jadi, ketika para santri, alim, haji itu mengikuti seremonial perjamuan penguasa atau pemerintah kolonial, mereka berperilaku seperti penguasa kolonial itu.
“Nah, itu yang menjadi alasan kenapa Kiai Rifai itu antipati terhadap priayi karena dari sudut pandang syariat sudah dianggap menyimpang. Kemudian terhadap penghulu, ya tentu terkait dengan relasi penghulu dengan pemerintah kolonial,” kata Adib.
Menurut Adib, karena dahulu penghulu diangkat oleh raja atau penguasa di Jawa. Maka, ketika penguasa kolonial berkuasa di Jawa, penghulu yang masuk di dalam struktur penguasa setempat otomatis berada di bawah pemerintahan kolonial. Dan, Ahmad Arrifai menganggap penguasa kolonial ini adalah orang kafir yang menjajah tanah Jawa.
Adib juga menjelaskan, bahwa sikap Ahmad Arrifai yang menentang penguasa kolonial tidak semata-mata persoalan teologis, karena mereka non-muslim, tapi juga karena watak eksploitatif penguasa kolonial.
Dan, untuk menjadi penghulu, bagi Ahmad Arrifai, dari sudut pandang syariat fikih, syaratnya harus adil. Jadi, kalau ada kiai yang mau menjadi penghulu yang berada di bawah kekuasaan penjajah, berarti sudah tidak adil lagi.
Karena itu, Ahmad Arrifai menolak keabsahan pengangkatan penghulu. Termasuk juga menolak produk hukumnya. Bahkan, menurut Adib, pada masa itu Ahmad Arrifai menolak legalitas pernikahan yang dilangsungkan oleh penghulu.
“Karena penghulu sudah di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Buat Kiai Rifai, kalau jadi kiai sudah tidak perlu pengangkatan dari pemerintah,” terang Adib yang menyelesaikan S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN/UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dari pembacaan terhadap berbagai teks di kitab-kitab Tarajjumah, Adib melihat sikap Ahmad Arrifai menentang priayi, menentang penghulu, dan penguasa kolonial, semua itu didasarkan pada ajaran-ajaran fikih.
“Kuatnya landasan fikhiyyah dengan sendirinya menjadikan gerakan perlawanan Kiai Ahmad Arrifai berbeda dengan sejumlah gerakan perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa pada abad ke-19 yang banyak diwarnai dengan elemen-elemen mesianisme,” ungkap Adib, dalam salah satu kesimpulannya.
Sumber: https://kerisnews.com/2019/04/29/kh-ahmad-arrifai-kalisalak-bersenjata-pena-lawan-kolonialisme/
Dan, resiko yang diterima Ahmad Arrifai ini, tidak jauh berbeda dengan mereka yang mengobarkan peperangan melawan penguasa kolonial. Karena karya-karyanya yang dikenal sebagai Kitab-Kitab Tarajjumah itu, Ahmad Arrifai sampai diadili tiga kali, dan akhirnya diasingkan ke Ambon.
“Jadi Beliau tidak terlibat di Perang Jawa (1825-1830). Jadi tidak melakukan perlawanan yang sifatnya militer. Tapi dengan melalui penulisan karyanya dan mengajak orang untuk menjauhi kekuasaan. Itu cara lain yang dilakukan Kiai Rifai dan pengikutnya dalam melawan pemerintah kolonial,” kata M Adib Misbachul Islam, di acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #10, bertema “Perlawanan Terhadap Kolonialisme—Tinjauan Kitab-Kitab Tarajjumah karya KH Ahmad Arrifai Kalisalak”.
Di acara yang digelar oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Jumat (25/1/2019) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, Adib, yang disertasinya tentang salah satu karya Ahmad Arrifai, mengungkapkan bahwa kehidupan Arrifai lebih banyak dihabiskan di pesantren dan di Tanah Suci.
Sosok Ahmad Arrifai yang memang hidup di masa kolonial, pertengahan abad ke-19, menurut Adib, merupakan nama yang tidak asing di sejarah gerakan protes sosial di Jawa. Masa kecil dan muda Ahmad Arrifai dihabiskan di pesantren. Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren di Kaliwungu, Jawa Tengah, ia kemudian melanjutkan studinya ke Tanah Suci sekitar delapan tahun. Dan, kemudian pulang merintis karier sebagai kiai pesantren di Kalisalak, Batang, Jawa Tengah.
“Sepanjang kariernya sebagai kiai pesantren, kira-kira 53 karya yang pernah dia tulis. Dan semuanya ditulis dalam Bahasa Jawa, dan sebagian besar ditulis dalam bentuk puisi atau nazam. Ini luar biasa,” kata Adib, yang merupakan peneliti dan dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Karya-karya Ahmad Arrifai ini meski dikenal sebagai Kitab Tarajjumah, menurut Adib, tidak dikenal adanya babon atau sumber dari kitab tertentu yang dikarang oleh, misal, ulama Timur Tengah, yang kemudian diterjemahkan. Istilah tarjamah ini kesannya memang seolah hanya sebatas terjemahan dari satu bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dan, menariknya, Ahmad Arrifai sendiri yang memberi nama Tarajjumah.
“Jadi saya memahami mengapa Beliau menggunakan istilah Tarajjumah. Pertama, itu sebagai bentuk ketawadukan seorang kiai, yang tidak merasa bahwa dia yang mengarang tapi hanya sebatas menerjemahkan apa yang dihasilkan oleh ulama lain. Itu yang saya pahami semacam itu,” terang Adib.
Tapi setelah diamati oleh Adib, ternyata memang tidak ada kitab sumber yang diterjemahkan. Dan, yang ada hanya berupa referensi dari kitab-kitab kuning. Kemudian oleh Ahmad Arrifai diolah dan dalam banyak hal disesuaikan dengan konteks lokal Jawa Tengah, terutama, pada masa kolonial. Karena itu, menurut Adib, kitab-kitab Tarajjumah sangat kuat dengan muatan lokal.
“Yang kedua, tentu boleh jadi itu bagian strategi Beliau dalam menghadapi represi penguasa pada masa itu. Ini terlihat ketika dia diadili oleh pemerintah kolonial di Pekalongan. Karena kitab-kitabnya kan dirampas dan ditunjukkan bahwa dia itu dianggap menentang pemerintah kolonial,” kata Adib.
Di pengadilan di Pekalongan itu, Ahmad Arrifai memberi alasan bahwa kitab-kitab itu bukan karyanya, karena dia hanya menerjemahkan. Kitab Tarajjumah sendiri, menurut Adib, banyak mengandung gagasan-gagasan yang sangat “kritis” terhadap tatanan sosial yang dibentuk oleh pemerintah pada masa kolonial.
Menurut Adib, di abad ke-19, setelah kemenangan Belanda di Perang Jawa, hampir semua sendi-sendi kehidupan di Jawa dikuasai oleh pemerintah kolonial. Di satu sisi, ada kekhawatiran dari pihak pemerintah kolonial akan bangkitnya kembali kekuatan kaum santri.
Seperti diketahui, Perang Jawa melibatkan kaum santri, kalangan bangsawan dan sebagainya. Jadi ada semacam kekhawatiran. Dan untuk menekan jangan sampai umat Islam itu kembali menjadi ancaman, menurut Adib, maka ada upaya-upaya dari pemerintah kolonial untuk bisa menjinakkan kaum santri dan kalangan bangsawan.
“Oleh karena sebagian kalangan agamawan, sebagian kalangan ulama itu direkrut oleh pemerintah kolonial dimasukkan dalam mesin birokrasi pemerintahan kolonial. Akhirnya sebagian orang-orang santri nantinya masuk menjadi penghulu,” kata Adib.
Demikian pula dengan kalangan priayi, yang sebelumnya berada di bawah raja-raja Jawa, sebagian langsung di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Dan, gaya hidup priayi dari sudut pandang seorang santri, seperti Kiai Rifai, banyak dianggap menyimpang dari ajaran agama. Terlebih mereka kemudian menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah kolonial.
Begitu pula, para penghulu. Mereka yang memiliki ilmu agama, berfungsi melaksanakan sebagian hukum Islam, seperti pelaksanaan pernikahan, urusan harta wakaf, warisan dan sebagainya, mau tidak mau berada di bawah kekuasaan kolonial. Karena mereka sudah masuk di dalam sistem administrasi pemerintah kolonial.
“Jadi konteksnya semacam itu, sehingga kita nanti bisa memahami, kenapa kok Kiai Rifai itu kok sangat keras terhadap kalangan penghulu, kalangan priayi dan kemudian kepada patronnya itu, pemerintah kolonial,” terang Adib.
Nah, di masa seperti itu banyak gerakan-gerakan protes. Gerakan perlawanan terhadap kolonialisme itu, di Jawa, menurut Adib, bisa dipilah menjadi tiga, yaitu yang didasari kepentingan Jihad atau Perang Suci, idiologi gerakan Ratu Adil, dan idiologi Alim Adil.
Para sarjana, menurut Adib, menilai bahwa Kiai Rifai juga mengusung gagasan Ratu Adil. Karena didasarkan pada sejumlah karya Ahmad Arrifai yang selalu menggunakan istilah Alim Adil. Jadi, di satu pihak ada Ratu Adil, dan di pihak lain Kiai Rifai mengangkat Alim Adil.
“Di itu yang selalu digunakan Kiai Rifai sebagai dalih kenapa priayi harus dilawan, harus ditentang, karena dia tidak adil. Kenapa penghulu dia harus dilawan, karena tidak adil,” kata Adib.
Alim, dalam pengertian Ahmad Arrifai, yaitu orang yang memiliki pengetahuan agama. Dan, adil adalah proporsional dalam memutuskan suatu perkara. Adil juga memiliki pengertian tidak melakukan perbuatan dosa besar atau melanggengkan dosa kecil. Alim Adil ada di setiap zaman, dan Alim Adil bisa lebih dari satu.
“Nah, ini yang menurut saya itu membedakan dengan konsep Ratu Adil yang diusung oleh para tokoh-tokoh yang melakukan gerakan protes sosial pada masa itu,” terang Adib yang menyelesaikan doktornya di Universitas Indonesia (UI).
Pengertian Alim Adil dari Ahmad Arrifai itu, menurut Adib, persis dengan pengertian adil dalam kitab fikih. Dan, itu digunakan oleh Ahmad Arrifai untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Termasuk menolak aparat-aparat yang berada di bawah kekuasaannya, seperti priayi dan penghulu, yang diangkat oleh penguasa kolonial.
“Ora mikir gedhene dosa periyayi parek kufur donya laknat kang disengaja asih milahur” (NT:658). Begitu tulis Ahmad Arrifai tentang perilaku para priayi. Jadi, menurutnya, para priayi sudah mendekat kekufuran dan hanya dunia yang mereka kejar.
“Kendhurene periyayi galib dadi pengerutan akeh alim lan haji katut maksiatan” (NT: 2798). Jadi, ketika para santri, alim, haji itu mengikuti seremonial perjamuan penguasa atau pemerintah kolonial, mereka berperilaku seperti penguasa kolonial itu.
“Nah, itu yang menjadi alasan kenapa Kiai Rifai itu antipati terhadap priayi karena dari sudut pandang syariat sudah dianggap menyimpang. Kemudian terhadap penghulu, ya tentu terkait dengan relasi penghulu dengan pemerintah kolonial,” kata Adib.
Menurut Adib, karena dahulu penghulu diangkat oleh raja atau penguasa di Jawa. Maka, ketika penguasa kolonial berkuasa di Jawa, penghulu yang masuk di dalam struktur penguasa setempat otomatis berada di bawah pemerintahan kolonial. Dan, Ahmad Arrifai menganggap penguasa kolonial ini adalah orang kafir yang menjajah tanah Jawa.
Adib juga menjelaskan, bahwa sikap Ahmad Arrifai yang menentang penguasa kolonial tidak semata-mata persoalan teologis, karena mereka non-muslim, tapi juga karena watak eksploitatif penguasa kolonial.
Dan, untuk menjadi penghulu, bagi Ahmad Arrifai, dari sudut pandang syariat fikih, syaratnya harus adil. Jadi, kalau ada kiai yang mau menjadi penghulu yang berada di bawah kekuasaan penjajah, berarti sudah tidak adil lagi.
Karena itu, Ahmad Arrifai menolak keabsahan pengangkatan penghulu. Termasuk juga menolak produk hukumnya. Bahkan, menurut Adib, pada masa itu Ahmad Arrifai menolak legalitas pernikahan yang dilangsungkan oleh penghulu.
“Karena penghulu sudah di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Buat Kiai Rifai, kalau jadi kiai sudah tidak perlu pengangkatan dari pemerintah,” terang Adib yang menyelesaikan S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN/UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dari pembacaan terhadap berbagai teks di kitab-kitab Tarajjumah, Adib melihat sikap Ahmad Arrifai menentang priayi, menentang penghulu, dan penguasa kolonial, semua itu didasarkan pada ajaran-ajaran fikih.
“Kuatnya landasan fikhiyyah dengan sendirinya menjadikan gerakan perlawanan Kiai Ahmad Arrifai berbeda dengan sejumlah gerakan perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa pada abad ke-19 yang banyak diwarnai dengan elemen-elemen mesianisme,” ungkap Adib, dalam salah satu kesimpulannya.
Sumber: https://kerisnews.com/2019/04/29/kh-ahmad-arrifai-kalisalak-bersenjata-pena-lawan-kolonialisme/