Melacak Keotentikan Hang Tuah Naik Haji

Manassa
0
Melacak Keotentikan Hang Tuah Naik Haji

Hikayat Hang Tuah, bisa dikata, merupakan salah satu karya sastra Melayu lama yang paling tersohor dan paling sering dibahas. Meski begitu, teks atau Hikayat Hang Tuah ini, masih jauh dari diteliti seluruh isi dan segala aspeknya.

Nah, di acara Seri Diskusi Naskah Nusantara #8, bertema “Hang Tuah Naik Haji”, dengan subtema “Membahas Otentisitas dan Proses Komposisi Hikayat Hang Tuah”, yang digelar oleh Perpusnas RI dan Manassa, Senin (3/12/2018) pagi lalu, di Teater Lantai 8 Perpusnas RI, Jalan Medan Merdeka Selatan No 11, Jakarta, Henri Chambert-Loir mengungkapkan salah satu aspek yang belum disentuh, yaitu aspek agama. Agama Islam, pastinya.

“Dan saya mau memperlihatkan bagaimana adegan Hikayat Hang Tuah naik haji atau tidak naik haji, itu mencerminkan aspek agama itu,” kata Henri Chambert-Loir, yang merupakan Profesor Emeritus di École Française d’Extrême-Orient (EFEO), Paris, Perancis.

Adegan Hang Tuah naik haji diceritakan di dalam Hikayat Hang Tuah yang dikarang di Johor pada akhir abad ke-17. Hikayat ini, menurut Henri Chambert-Loir di makalahnya yang berjudul “Hang Tuah Naik Haji–Membahas Otentisitas dan Proses Komposisi Hikayat Hang Tuah”, adalah sebuah epos yang ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa sejarah serta aneka legenda yang terkait dengan kota Malaka pada abad ke-15.

“Tapi dalam Hikayat Hang Tuah itu disatukan pada satu tokoh, Hang Tuah. Padahal dalam Sejarah Melayu, Sulalat al-Salatin, itu merupakan kejadian dan kelakuan bermacam-macam orang,” ujar Henri.

Dan, konteks adegan Hang Tuah naik haji ini, yaitu ketika Sultan Malaka mengutus Hang Tuah ke Rum (Istanbul) untuk membeli meriam. Hang Tuah berlayar bersama Maharaja Setia (Hang Kesturi), serta 16 orang kaya. Di dalam armadanya terhitung ada 42 kapal yang membawa 1900 orang.

Ceritanya, Hang Tuah berangkat dari Malaka dan sempat singgah di Aceh, dan kemudian di Maladewa. Setelah dua bulan di laut, ia sampai ke Laut Merah atau Jeddah. Pada masa itu, merupakan hal yang lumrah bagi pelayar Indonesia yang pergi ke Istanbul setelah sampai ke salah satu pelabuhan di Laut Merah lantas melanjutkan perjalanan melalui darat.

Hang Tuah, setelah tahu kalau sampai di Kota Jeddah, lantas memutuskan singgah di kota itu untuk berziarah ke makam Siti Hawa, yang memang ada di Jeddah.

“Pada saat itu tidak ada maksud yang lain daripada menziarahi makam (Siti Hawa),” kata Henri.

Hang Tuah, karena merupakan kepala armada yang sangat besar, kemudian bertemu dengan para petinggi Jeddah. Seperti Syahbandar, dan juga Gubernur Jeddah yang bernama Malik Rastal. Saat itu, tulis Henri di makalahnya, Hang Tuah telah mempunyai rencana yang lebih luas. Yaitu hendak melihat Ka’bah dan ke Madinah mengunjungi kubur Nabi salla’llahu ‘alayhi wa-sallama. Hang Tuah juga tahu di belakang Jeddah ada Mekkah, dan di Mekkah ada Ka’bah.

“Sejauh itu dia tahu, tapi dia tidak punya rencana yang lain daripada menziarahi makam juga. Dengan demikian, Hang Tuah pada saat itu sama sekali tidak bermaksud naik haji,” kata Henri.

Bahkan, Hang Tuah sebenarnya tidak mengetahui kalender Islam. Juga tidak tahu bahwa musim haji sudah dekat. Jadi, disebutkan Syahbandar dan Gubernur yang membujuk Hang Tuah supaya naik haji karena musimnya sudah dekat. Gubernur bersedia membawa Hang Tuah dalam rombongan hajinya.

“Sampai di sini, dalam Hikayat Hang Tuah diberitahukan tanggal kejadian itu, kita di tahun 886 H yang berarti sama dengan 1482. Dan juga disebut kedua orang yang dinamakan Raja Mekkah dan Raja Madinah. Itu Syarif Ahmad dan Syarif Baharuddin, yang kedua-duanya itu anak Zainul Abidin. Tapi sebetulnya kita tidak bisa identifikasi kedua tokoh itu,” ujar Henri.

Ketika masih di Jeddah, Hang Tuah mengunjungi makam Siti Hawa. Selanjutnya, Hang Tuah berjalan ke Mekkah bersama Malik Rastal, Gubernur Jeddah. Di perjalanan, suatu malam, Hang Tuah berjumpa dengan Nabi Khidir yang memberikannya sebuah cembul, yang airnya membuat Hang Tuah menguasai segala bahasa di dunia.

“Dan di Mekkah, Madinah, pokoknya di tanah suci, Hang Tuah berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih sekali. Dan kemudian dia akan pindah ke Rum berbicara dengan bahasa Turki. Di mana-mana dia berada, dia sanggup berbahasa setempat dengan fasih,” kata Henri.

Hang Tuah, di Mekkah, sambil menunggu tanggal melakukan ritus-ritus haji, ia bertemu dengan Raja Mekkah Syarif Ahmad bin Zainul Abdidin. Termasuk menziarahi sejumlah besar makam penting. Jadi, menurut Henri, dari dulu sampai saat ini yang mau dilakukan oleh Hang Tuah hanya menziarahi makam.

Disebutkan, Hang Tuah juga melihat kedua kafilah Mesir dan Syam (Suriah) waktu tiba di Mekkah. Bagian ini, menurut Henri, mengandung deskripsi yang sangat ringkas tapi unik dalam bahasa Melayu, tentang mahmal. Mahmal adalah suatu sukduf yaitu tempat duduk di atas unta yang luar biasa mewah. Mahmal atau sukduf ini tidap tahun dikirim dari Mesir ke Mekkah pada musim haji atas nama Sultan Usmani sebagai simbol kedaulatannya atas Tanah Arab.

Hang Tuah tidak melaksanakan ritus apa pun sebelum tanggal 9 Zulhijjah. Pada tanggal itu, di bawah bimbingan Syarif Ahmad, semua orang pergi ke Bukit Arafah, yang merupakan iringan besar.

“Di situlah mulai upacara haji, yaitu ibadah haji Hang Tuah. Jadi dia melakukan ritus-ritus yang penting, ritus sentral ibadah haji. Dan selanjutnya kembali ke Mekkah. Nah di situ ada istilah-istilah penting,” kata Henri.

Dan, di kutipan yang diambil dari Hikayat Hang Tuah, disebutkan, “Maka Laksamana (Hang Tuah) dan Maharaja Setia (Hang Kesturi) pun pergilah bersama-sama dengan orang Mekkah sekalian itu mengerjakan seperti rukun haji itu. Setelah sudah habislah dikerjakannya, lalu turun ke Mina pula melontar batu yang bernama Jamratul-akabah dan Jamratul-wusta dan Jamratul-ula itu. Setelah sudah, lalu mengorban. Maka Laksamana dan Maharaja Setia pun bercukur. Maka habislah rata seperti syarat perintah haji dan ziarah dan haji umrah semuanya dikerjakannya.”

Juga diceritakan dalam Hikayat Hang Tuah, “Maka Laksamana dan Maharaja Setia pun kembalilah ke Mekkah dengan sekalian orang banyak itu, lalu ziarah pula pada makam Ibrahim. Maka sampailah pada sepuluh hari bulan, tirai Ka’bah Allah pun disalin oranglah. Maka Laksamana pun membelilah tirai itu barang sedapatnya. Setelah keesokan harinya maka Laksamana pun masuklah ke dalam Ka’bah Allah sembahyang, lalu mencium batu yang bernama Hajar al-aswad. Setelah sudah lalu keluar bersama-sama dengan orang banyak lalu tawaf pula ia akan tawaf rukun. Telah selesailah habis dikerjakannya maka Laksamana dan Maharaja Setia pun mengambil air pada telaga Zamzam itu, lalu berjalan ke Madinah bersama-sama dengan kafilah yang banyak itu.”

Disebutkan, mereka, atau Hang Tuah dan kafilah, tiba di Madinah setelah 12 hari di jalan. Lantas menziarahi makam-makam Nabi Muhammad, Uthman, Halimah, Hamzah, Nabi Muhamma sekali lagi, Abu Bakar, Umar, dan Fatimah. Hang Tuah tinggal di Madinah selama 12 hari dan lantas kembali ke Jeddah tanpa melalui Mekkah. Ia tingal 11 hari di Jeddah, kemudian berangkat ke Rum (Istanbul). Dan, bagian ini merupakan bagian akhir dari adegan Hang Tuah naik haji.

“Nah, adegan-adegan naik haji tadi, itu aneh dari berbagai segi. Pertama, Hang Tuah melaksanakan ibadah haji secara tidak sengaja. Karena kebetulan berada di Jeddah pada waktu yang sesuai dan karena dibujuk orang lain. Bahkan pengetahuannya akan agama Islam […] rukunnya, ritusnya itu rupanya dangkal sekali,” terang Henri.

Dan kedua, deskripsi prosesi haji sangat ringkas. Pelayaran dan perjalanan, pertemuan dengan petinggi-petinggi setempat, pertemuan dengan Nabi Khidir, dan ziarah ke aneka ragam kubur, dideskripsikan dengan panjang lebar. Sementara, ritual haji dideskripsikan dalam 62 kata di tengah adegan sepanjang 2344 kata. Berarti hanya 26% dari adegan itu.

Belum lagi, ritual ibadah haji yang dideskripsikan di dalam Hikayat Hang Tuah itu tidak lengkap. Seperti tidak disebut pakaian ihram, pengucapan niat, tawak kudum (tawaf awal) di Masjidil Haram, sa’i, dan juga tentang cukur rambut.

Keanehan ketiga, Hikayat Hang Tuah ini, kata Henri, merupakan suatu hikayat seperti legenda yang meracik berdasar fakta-fakta historis tetapi bukan teks sejarah, dan tidak mengandung tanggal satu pun, kecuali dalam adegan naik haji itu.

“Jadi itu menjadikan adegan naik haji itu, sekali lagi, agak spesial, agak lain daripada yang lain. Dan tanggal itu, jadi 9 Zulhijah 886, yang sama dengan 29 Januari 1482,” kata Henri.

Yang keempat, di cerita disebutkan kedua Syarif Mekkah dan Madinah dibawahi Sultan Rum. Padahal hal itu baru terjadi setelah Mesir diduduki oleh kekuasaan Usmani pada tahun 1517, yaitu 35 tahun kemudian.

Hikayat Hang Tuah ini, tulis Henri di makalahnya, meskipun sebagian berdasarkan fakta sejarah tapi sama sekali tidak menghiraukan kronologi. Hikayat itu juga tidak mengindahkan ketepatan sejarah ataupun kesesuaian kronologi.

“Ada juga sebuah alasan lain (yang kelima) yaitu kalau kita membaca seluruh Hikayat Hang Tuah, adegan (naik haji) ini sangat faktual, sangat lain gaya bahasanya daripada keseluruhan hikayatnya itu. Adegan ini sangat padat, faktual dan bersahaja. Dan mengandung diskripsi dari data-data yang betul, yang realistik,” kata Henri.

Sedangkan adegan yang lain sama sekali tidak realistik, misalnya Hang Tuah mengunjungi beberapa kota, seperti kota Rum, yang akan terjadi sesudahnya. Deskripsinya itu sama sekali tidak faktual, sama sekali tidak benar, dan sama sekali tidak otentik. Tidak ada apa pun yang otentik, semuanya itu hanya di alam fantasi.

Selanjutnya, keanehan atau alasan berikutnya, kenapa adegan Hang Tuah naik haji menjadi luar biasa di dalam teks Hikayat Hang Tuah, menurut Henri, karena terdapat dua kerancuan. Pertama, yaitu Laksamana (Hang Tuah) “ziarah pula pada makam Ibrahim”.

“Jadi seperti yang saya katakan tadi ini ada kerancuan karena makam Ibrahim bukan makam, sama sekali bukan makam, bukan kuburan. Dan kemudian mencium batu yang bernama Hajar al-Aswad di dalam Ka’bah. Padahal tentunya terletaknya itu di luar Ka’bah,” kata Henri.

Nah, adegan Hang Tuah naik haji yang penuh keanehan tadi, menurut Henri, terdapat dalam teks, yaitu Hikayat Hang Tuah, yang sebenarnya memiliki rona keislaman sangat dangkal. Dan, memang dalam beberapa teks Melayu, yang diharapkan berciri Islam yang kuat dan mendalam, ternyata agama Islam hanya sedikit sekali dilukiskan.

Menurut Henri, hal itu telah dicatat oleh Anthony Johns mengenai Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu). Dan, ternyata tampak lebih mengesankan lagi di Hikayat Hang Tuah, yang deskripsi kota, kelakuan tokoh-tokohnya, dan nilai-nilai yang diutamakan hampir tidak terpengaruh oleh agama Islam.

Ketidakhadiran agama Islam di dalam teks Hikayat Hang Tuah, juga tampak nyata dalam kosa katanya. Kata-kata semisal, sholat, syahadat, kiblat, khotbah, zikir, dan lainnya, yang merupakan kata-kata bersifat Islam yang paling umum, tidak satu kali pun disebutkan.

“Nah, dalam konteks unsur Islam yang jarang dan dangkal itu, adegan Hang Tuah naik haji tampak luar biasa. Maka semakin mengherankan bahwa Hang Tuah tidak bertolak dari Malaka dengan tujuan naik haji. Apalagi tidak berpikir untuk memanfaatkan pelayaran ke Rum untuk singgah di Tanah Suci dan naik haji. Naik haji “sambil lalu”. Melainkan menunaikan rukun agama itu secara kebetulan,” kata Henri.

Termasuk ketika pulang ke Malaka dan melaporkan hasil perjalanannya ke Sultan, Hang Tuah hanya menceritakan tentang keagungan kota Rum dan perihal masa tinggalnya di kota itu. Ia tidak mengatakan suatu kata pun tentang naik haji, dan Sultan juga tidak menanyakan hal itu. Ini memperlihatkan bahwa adegan naik haji bukan peristiwa penting di dalam hikayat atau diremehkan.

“Maka timbul kesimpulan bahwa adegan haji itu disalin dari sumber lain dan dimasukkan ke dalam Hikayat Hang Tuah. Ya, mungkin sekali dengan tujuan menambah rona keislaman pada perwatakan tokoh Hang Tuah. Tambahan itu mungkin dilakukan pada waktu teks hikayatnya disusun atau selanjutnya waktu disalin dan diedit. Tapi cukup dini karena adegan yang bersangkutan terdapat dalam semua naskah hikayat itu,” ujar Henri.

Diperkirakan ada 28 naskah Hikayat Hang Tuah. Dan, menurut Henri, semua naskah itu mengandung adegan naik haji. Jadi, kalau dimasukkan sesudah dikarang versi aslinya, berarti dimasukan pada waktu yang sudah lama.

Adegan itu, kata Henri, karena mengandung deskripsi yang faktual, data-data yang tepat, termasuk tanggalnya. Maka adegan itu bukan rekaan, tetapi merupakan pinjaman pada teks yang telah ada. Dan, teks yang telah ada itu kemungkinan besar bukan teks Melayu melainkan teks terjemahan, karena ada dua kerancuan tadi, yaitu tentang makam Ibraham dan batu Hajar Aswad.

“Jadi kemungkinan besar kesimpulan saya ialah adegan naik haji betul otentik. Tapi bukan menyangkut tokoh Hang Tuah, menyangkut orang lain. Dan adegan itu sebenarnya terjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, bahasa Melayu. Jadi tinggal mengidentifikasi aslinya,” kata Henri.

Adegan naik haji itu, menurut Henri di makalahnya, mencerminkan kemauan untuk mengentalkan unsur Islam dalam hikayatnya. Atau boleh dikatakan untuk mengislamkan hikayat tersebut.

“Nah, di samping faktor Islamisasi tekstual, jadi Islamisasi teks Hikayat Hang Tuah, Hikayat Hang Tuah seolah-olah diislamkan dalam arti ditambah rona keislamannya itu. Adegan naik haji itu merupakan suatu indikasi tentang komposisi hikayatnya. Bahwa sebuah kisah yang sama sekali asing pada riwayat hidup Hang Tuah dapat diselipkan ke dalam hikayatnya bukan hal luar biasa,” terang Henri.

Hikayat Hang Tuah, kata Henri, sebenarnya berisi dua fasal lain yang disalin kata demi kata dari sumber lain. Dan kedua-duanya itu tentang deskripsi kota Istanbul, kota Rum. Satu dipetik dari Sulalat al-Salatin, dan satu lagi dari Bustan al-Salatin, yaitu dua teks Melayu yang bersifat sejarah, ditulis beberapa waktu sebelumnya, yaitu pada awal abad ke-17.

“Ternyata, deskripsi beberapa pelayaran serta adegan haji yang terdapat dalam bagian kedua hikayatnya dihasilkan oleh seorang yang sama sekali lain, yakni seorang sarjana atau seorang bujangga yang berpengetahuan luas, yang mempunyai beberapa sumber tertulis (Sulalat al-Salatin, Bustan al-Salatin, dan kisah haji dalam bahasa Arab) dan yang mengarang bagian akhir hikayat itu dengan satu tujuan tertentu, yaitu memberikan Malaka sebuah dimensi internasional dan Islami,” tulis Henri Chambert-Loir di akhir makalahnya.

Sumber: https://kerisnews.com/2019/02/14/melacak-keotentikan-hang-tuah-naik-haji/
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !