Sultan Sepuh VII Cirebon, Joharidin atau Samsudin?

Manassa
0
Sultan Sepuh VII Cirebon, Joharidin atau Samsudin?

Oleh: Hazmirullah

INI tentang Sultan Sepuh VII Cirebon. Sebagian besar sumber sejarah menyatakan bahwa tokoh ini bernama Muhammad Joharidin. Naskah Mss Malay F1 (koleksi British Library), misalnya, menyebutkan bahwa Sultan Sepuh VII Cirebon dianugerahi gelar Sultan Tajul Ngaripin Muhammad Joharidin. Informasi serupa disebutkan di dalam Naskah Soedjarah Babad Negri Cheribon (koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor Plt 40 Peti 121) halaman 107.

Sultan Sepuh VII naik takhta pada tahun 1791 saat masih berumur 10 tahun. Oleh karena itulah, dalam pengelolaan kesultanan, ia terlebih dahulu harus didampingi oleh dua tumenggung, yakni Tumenggung Wijaya Hadhiningrat dan Tumenggung Jayadhireja. Berdasarkan informasi dari Naskah Mss Malay F1 itu, Sultan Sepuh VII menjabat hingga tahun 1816. Ia digantikan oleh sang adik, Pangeran Raja Cirebon dan kemudian diberi gelar Sultan Tajul Ngaripin Muhammad Samsudin.

Periode jabatan Sultan Sepuh VII (1791-1816) merupakan masa yang penting bagi Kesultanan Cirebon. Betapa tidak, dalam rentang waktu 25 tahun itu, banyak sekali peristiwa yang terjadi, mulai dari skala lokal Cirebon hingga internasional. Pada masa-masa awal pemerintah, Sultan Sepuh VII harus sudah berhadapan dengan pemberontakan rakyat yang berdurasi panjang hingga dekade kedua abad ke-19.

Selama memerintah, ia pun harus berurusan dengan 5 gubernur jenderal dan 1 letnan gubernur. Kelima gubernur jenderal itu adalah Willem Arnold Alting (1780-1797), Pieter Gerardus van Overstraten (1797-1801), Johannes Siberg (1801-1805), Albertus Henricus Wiese (1805-1808), Herman Willem Daendels (1808-1811), dan Jan Willem Janssens (1811). Sementara satu letnan gubernur yang dimaksud adalah Thomas Stamford Raffles (1811-1816).

Ketika Daendels berkuasa, Sultan Sepuh VII mengaku tak kuat menanggung beban dari kebijakan bengis yang diterapkan oleh “Mas Galak”. Meskipun demikian, ia mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Wajar jika kemudian ia mendukung penuh rencana Inggris untuk merebut Tanah Jawa sekaligus mengusir pasukan Belanda-Prancis. Semua itu ia tuliskan di dalam surat balasan untuk Raffles pada tanggal 2 Rabiulakhir 1226 (26 April 1811).

Tanggal 4 Agustus 1811, pasukan Inggris berlabuh di Cilincing hatta merebut Weltevreeden sepekan kemudian. Sementara Meester Cornelis, benteng kokoh yang dibangun Daendels, baru bisa direbut pada pekan terakhir bulan Agustus 1811. Meskipun demikian, Inggris baru resmi menguasai Jawa pada 18 September 1811, setelah Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens menyerahkan diri di Salatiga.

Tujuh bulan setelah Inggris berkuasa, Sultan Sepuh VII Cirebon menyatakan kerelaan dipensiunkan dari jabatan publik. Ia menyatakan terima kasih karena Raffles memberinya jatah uang pensiun sebesar 4.000 rijkdaalder saban tahun. Kepada Raffles, Sultan Sepuh VII pun menitipkan nasib rakyat Cirebon. Semua itu tertuang di dalam surat tertanggal 25 Rabiulawal Tahun Alip 1739 atau 8 April 1812 (koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia dan diberi kode ID-ANRI K66a, File 3569, Folio 601-602). Sejak itu, sultan hanya berfungsi sebagai pemangku adat Cirebon.

Benarkah Sultan Sepuh VII Cirebon itu bernama Muhammad Joharidin?

* * * * *

KETIKA menyelusuri naskah-naskah koleksi British Library, saya menemukan “bundel” Add MS 45273, berukuran 385 x 270 milimeter, diberi judul “Raffles Papers”. “Bundel” itu ternyata berisikan 125 surat, satu di antaranya dari Sultan Sepuh Cirebon. Semua surat itu pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Addresses, &c. Presented to Mr. Raffles, on the Occasion of His Departure from Java (1817).




Menurut Demetrius Charles Boulger, di dalam bukunya The Life of Sir Stamford Raffles (1897: 212), sebagian sebagian besar surat yang berisi ucapan perpisahan tersebut diterima Raffles ketika ia sudah berada di London.

Boulger (1897: 210-213) menyatakan, Raffles berlayar dari Batavia hala ke London pada 25 Maret 1816. Sementara surat-surat itu baru ditulis setidaknya pada bulan April 1816. Surat dari Sultan Sepuh Cirebon (kode Add MS 45273 f.32-33), misalnya, ditulis pada tanggal 1 Jumadilakhir 1744 (29 April 1816).

Surat itu terdiri atas dua lembar kertas, ditulis secara bolak-balik (recto-verso) dengan menggunakan aksara Carakan dan bahasa Jawa. Akan tetapi, hanya tiga halaman yang mengandung teks. Halaman kesatu mengandungi 21 baris teks, halaman kedua 22 baris teks, dan halaman ketiga 9 baris teks. Sementara halaman keempat dibiarkan kosong.

Sultan Sepuh Cirebon membubuhkan cap di sisi kiri (left-hand) atas halaman muka surat. Berdasarkan ketentuan di dalam kitab-kitab Terasul (pedoman penulisan surat Melayu), posisi cap itu memiliki makna bahwa ‘surat dikirim oleh orang biasa’. Cap dengan posisi serupa dibubuhkan oleh Sultan Sepuh VII Cirebon dalam surat “pengunduran dirinya”. Artinya, ia tak lagi memosisikan diri sebagai sultan sehingga “harus” membubuhkan cap di sisi kanan (right-hand) atas halaman muka surat.

Satu hal yang menarik, di dalam surat perpisahan untuk Raffles itu, di baris ke-13 hingga ke-16 (halaman kesatu), terdapat kalimat “......kali dhéning malih, kaula hatur uninga, ing salamining kaula katilar dhéning sadhérék kaula, KanjÄ›ng Sultan SÄ›puh Mukamadh Samsudhdin punika, kaula botÄ›n kangkat angampÄ›h ing wÄ›dhalling waspa kantos ing nétra...” (‘...selain itu, saya informasikan, semenjak ditinggal oleh saudara saya, Kanjeng Sultan Sepuh Muhammad Samsudin, saya tidak pernah berhenti menangis...”).

Kalimat itu memberikan informasi bahwa Sultan Sepuh Cirebon menulis surat tersebut dalam kondisi berduka cita. Sang kakak, bernama Kanjeng Sultan Muhammad Samsudin, baru saja meninggal dunia. Dengan demikian, jelaslah bahwa penulis surat perpisahan untuk Raffles itu adalah Sultan Sepuh VIII Cirebon yang, kemungkinan besar, bernama Muhammad Joharidin. Kalakian, ia baru saja diangkat sebagai sultan (selaras dengan informasi yang termaktub di dalam Naskah Mss Malay F1). Wajar jika kemudian Raffles membubuhkan keterangan di halaman muka surat yang ia terima. Bahwa surat itu “From the Present Sultan Sepuh of Cheribon”.

Itu berarti, Sultan Sepuh VII Cirebon bernama Sultan Tajul Ngaripin Muhammad Samsudin, bukan Muhammad Joharidin.***

Artikel ini dimuat di Halaman 1 HU Pikiran Rakyat, Kamis (22/11/2017).

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !