Ketika membuka seminar, dengan sedikit grogi, sebagai moderator, saya mengundang Bli Made Suparta, ahli filologi Jawa kuno yang masih meresapi tradisi membaca kakawin, untuk maju ke atas panggung. Kepada khalayak, ia membacakan dua baris epilog Hariwangsa karya Mpu Panuluh.
Mangke pwang Hariwangsaparwa winuwusnyawiphala satutuknya tanpadoh
Ndan hopen palar amrakasakena candi sang inalem akirti pustaka
Begini artinya, menurut Zoetmulder: Dan inilah cerita tersohor mengenai Hariwangsa. Lihatlah, betapa karya ini, setiap kata, tak ada harga dan guna. Namun, mudah-mudahan seseorang memperhatikannya. Dengan demikian, bertambahlah cahaya candi sang raja yang terpuji karena mendirikan monumen-monumen berbentuk pustaka.
Barangkali, panuluh ingin karyanya dinikmati. Ia juga berharap pustaka-pustaka itu menjadi pengingat keagungan seorang raja yang mendirikan monumen yang ditumpuk dari buku-buku.
Entah bagaimana perasaan Panuluh jika melihat ternyata pustaka-pustaka pada zamannya hanya menjadi "pusaka" pada masa kini. Pustaka-pustaka itu begitu dibanggakan, disucikan, tetapi tanpa dimaknai kesuciannya, tanpa diselami isinya, bahkan tanpa disentuh sama sekali.
Kondisi itulah yang memicu kehadiran Program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Souteast Asia (DreamSea). Program itu diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Hamburg University, Jerman.
Program tersebut dimaksudkan untuk merawat dan melestarikan naskah kuno yang menggambarkan keanekaragaman budaya di Asia Tenggara. Semua naskah kuno yang terancam punah di kawasan tersebut akan dialihmediakan menjadi naskah kuno versi digital.
Setelah itu, semua naskah kuno hasil digitalisasi tersebut akan dihimpun lalu ditampilkan secara daring di dalam Database of Southeast Asian Manuscripts. Kelak, naskah-naskah itu bisa dipergunakan untuk keperluan penelitian dan bidang keilmuan lainnya.
Melalui cara ini, Program DreamSea akan menyuguhkan cara pandang baru terkait dengan eksplorasi jejaring antarbudaya yang sangat kaya tersebut. Tak hanya itu, DreamSea juga berupaya memberikan kontribusi terhadap penguatan pelestarian keanekaragaman di wilayah tersebut.
Sejak lama, Asia Tenggara masyhur sebagai kawasan yang memiliki kekayaan budaya. Di Asia Tenggara, hidup ribuan etnis dengan latar belakang tradisi yang berbeda-beda, termasuk tradisi tulis. Hal itu dibuktikan oleh melimpahnya naskah kuno, baik yang disimpan oleh berbagai lembaga maupun yang masih terserak di tangan masyarakat. Sayangnya, kekayaan itu tidak diimbangi oleh pengetahuan mpara pemilik untuk merawat naskah sehingga potret keanekaragaman tersebut berpotensi hilang dalam waktu yang tidak lama.
* * * * *
DreamSea secara resmi diluncurkan di Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (24/1/2018). Program ini dijadikan sebagai upaya untuk menjadikan pusaka itu kembali menjadi pustaka agar bisa dikaji, dimaknai, dan diaplikasikan oleh generasi ahli waris tradisi.
Sebagaimana catatan Jan van der Putten, principal investigator dari CSMC Hamburg sekaligus penggagas DreamSea, tradisi tidak harus dipertentangkan dengan modern. Tradisi itu kolot, lambat, dan jelek. Sementara, modern itu cepat, praktis, bagus, hebat. Tidak seperti itu. Tradisi adalah sebuah keberlanjutan. Keduanya, tradisi dan modern, berkelindan secara bersama dalam sebuah dimensi waktu yang berjalan bersama. Orang membaca naskah melalui gawai, sebagaimana orang menonton sinetron Bollywood " Mahabharata".
Usaha merawat naskah, melalui digitalisasi dan repositori lengkap, tentu hal yang perlu disambut hangat. Apalagi, ruang lingkupnya bukan cuma Indonesia, melainkan Asia Tenggara. Peluncuran program ini melibatkan begitu banyak pemangku kepentingan, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Perpusnas, PPIM, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Hamburg University (melalui Centre Cultures of Manuscripts Studies), Kementerian Agama, perguruan tinggi, pusat-pusat penelitian, Badan Bahasa, komunitas, hingga aktivis naskah. Terus terang, ini menerbitkan perasaan optimistis dan suntikan tenaga ekstra bahwa sinergi untuk menanggulangi persoalan pelestarian naskah nusantara telah menjadi perhatian banyak kalangan.
Epilog Oman Fathurahman, principal investigator dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah, pada peluncuran program ini, begitu penting untuk dicatat. Bahwa usaha ini dilandasi oleh semangat untuk merawat keberagaman, sebagaimana keberagaman itu tercermin di dalam naskah.
Keberagaman itu telah diganggu oleh kelompok-kelompok yang menolak kebenaran di luar kebenaran kelompoknya. Marawi di Filipina adalah contoh nyata bagaimana nasib naskah kuno betul-betul di ujung tanduk. Konflik bersenjata telah meluluhlantakkan manusia dan karya budayanya, termasuk naskah.
Semoga program ini dapat menjadi sumbangan berharga dalam usaha pelestarian naskah di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.
Mangke pwang Hariwangsaparwa winuwusnyawiphala satutuknya tanpadoh
Ndan hopen palar amrakasakena candi sang inalem akirti pustaka
Begini artinya, menurut Zoetmulder: Dan inilah cerita tersohor mengenai Hariwangsa. Lihatlah, betapa karya ini, setiap kata, tak ada harga dan guna. Namun, mudah-mudahan seseorang memperhatikannya. Dengan demikian, bertambahlah cahaya candi sang raja yang terpuji karena mendirikan monumen-monumen berbentuk pustaka.
Barangkali, panuluh ingin karyanya dinikmati. Ia juga berharap pustaka-pustaka itu menjadi pengingat keagungan seorang raja yang mendirikan monumen yang ditumpuk dari buku-buku.
Entah bagaimana perasaan Panuluh jika melihat ternyata pustaka-pustaka pada zamannya hanya menjadi "pusaka" pada masa kini. Pustaka-pustaka itu begitu dibanggakan, disucikan, tetapi tanpa dimaknai kesuciannya, tanpa diselami isinya, bahkan tanpa disentuh sama sekali.
Kondisi itulah yang memicu kehadiran Program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Souteast Asia (DreamSea). Program itu diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Hamburg University, Jerman.
Program tersebut dimaksudkan untuk merawat dan melestarikan naskah kuno yang menggambarkan keanekaragaman budaya di Asia Tenggara. Semua naskah kuno yang terancam punah di kawasan tersebut akan dialihmediakan menjadi naskah kuno versi digital.
Setelah itu, semua naskah kuno hasil digitalisasi tersebut akan dihimpun lalu ditampilkan secara daring di dalam Database of Southeast Asian Manuscripts. Kelak, naskah-naskah itu bisa dipergunakan untuk keperluan penelitian dan bidang keilmuan lainnya.
Melalui cara ini, Program DreamSea akan menyuguhkan cara pandang baru terkait dengan eksplorasi jejaring antarbudaya yang sangat kaya tersebut. Tak hanya itu, DreamSea juga berupaya memberikan kontribusi terhadap penguatan pelestarian keanekaragaman di wilayah tersebut.
Sejak lama, Asia Tenggara masyhur sebagai kawasan yang memiliki kekayaan budaya. Di Asia Tenggara, hidup ribuan etnis dengan latar belakang tradisi yang berbeda-beda, termasuk tradisi tulis. Hal itu dibuktikan oleh melimpahnya naskah kuno, baik yang disimpan oleh berbagai lembaga maupun yang masih terserak di tangan masyarakat. Sayangnya, kekayaan itu tidak diimbangi oleh pengetahuan mpara pemilik untuk merawat naskah sehingga potret keanekaragaman tersebut berpotensi hilang dalam waktu yang tidak lama.
* * * * *
DreamSea secara resmi diluncurkan di Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (24/1/2018). Program ini dijadikan sebagai upaya untuk menjadikan pusaka itu kembali menjadi pustaka agar bisa dikaji, dimaknai, dan diaplikasikan oleh generasi ahli waris tradisi.
Sebagaimana catatan Jan van der Putten, principal investigator dari CSMC Hamburg sekaligus penggagas DreamSea, tradisi tidak harus dipertentangkan dengan modern. Tradisi itu kolot, lambat, dan jelek. Sementara, modern itu cepat, praktis, bagus, hebat. Tidak seperti itu. Tradisi adalah sebuah keberlanjutan. Keduanya, tradisi dan modern, berkelindan secara bersama dalam sebuah dimensi waktu yang berjalan bersama. Orang membaca naskah melalui gawai, sebagaimana orang menonton sinetron Bollywood " Mahabharata".
Usaha merawat naskah, melalui digitalisasi dan repositori lengkap, tentu hal yang perlu disambut hangat. Apalagi, ruang lingkupnya bukan cuma Indonesia, melainkan Asia Tenggara. Peluncuran program ini melibatkan begitu banyak pemangku kepentingan, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Perpusnas, PPIM, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Hamburg University (melalui Centre Cultures of Manuscripts Studies), Kementerian Agama, perguruan tinggi, pusat-pusat penelitian, Badan Bahasa, komunitas, hingga aktivis naskah. Terus terang, ini menerbitkan perasaan optimistis dan suntikan tenaga ekstra bahwa sinergi untuk menanggulangi persoalan pelestarian naskah nusantara telah menjadi perhatian banyak kalangan.
Epilog Oman Fathurahman, principal investigator dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah, pada peluncuran program ini, begitu penting untuk dicatat. Bahwa usaha ini dilandasi oleh semangat untuk merawat keberagaman, sebagaimana keberagaman itu tercermin di dalam naskah.
Keberagaman itu telah diganggu oleh kelompok-kelompok yang menolak kebenaran di luar kebenaran kelompoknya. Marawi di Filipina adalah contoh nyata bagaimana nasib naskah kuno betul-betul di ujung tanduk. Konflik bersenjata telah meluluhlantakkan manusia dan karya budayanya, termasuk naskah.
Semoga program ini dapat menjadi sumbangan berharga dalam usaha pelestarian naskah di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.