Satria Pinandhita: Dipanegara dalam Babad Ngayogyakarta Hamengku Buwana IV Dumugi V (SB 169) (Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis Fokalisasi)

Manassa
0
Arsanti Wulandari

Babad Ngayogyakarta sangat beragam dengan berbagai rentang waktu serta peristiwa yang dikisahkan. Salah satu peristiwa yang sering diceritakan adalah Perang Jawa yang terjadi 1825-1830. Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi V menjadi salah satu teks yang memuat kisah tersebut, bahkan sebelum peristiwa besar itu berlangsung. HB IV dan HB V adalah Sultan yang bertahta di usia belia. Kekhasan pemerintahan masa tersebut adalah masa perwalian. Itulah alasan pemilihan Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi V kode SB 169 sebagai objek kajian.

Filologi dipakai dalam pendekatan terhadap teks Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi V kode SB 169. Sebagai ilmu yang mengeluarkan sifat teks dengan memahami konteks melalui perunutan kata-kata yang dipakai, filologi mempunyai dua tugas pokok yang harus dilakukan yaitu menyajikan dan menafsirkan teks. Teks Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi V yang masih ditulis dengan aksara Jawa perlu dilakukan alih aksara dan selanjutnya diterjemahkan. Tahap interpretasi adalah pembacaan kembali teks dan dilakukan penganalisisan terhadap teks yang sudah diterjemahkan tersebut. Penganalisisan dalam hal ini adalah melihat dengan lebih detail dan menyambungkannya dengan konteks yang terbangun dengan melihat fokalisasi teks. Gaya penceritaan teks akan menunjukkan visi teks.

Close reading terhadap teks menunjukkan bahwa teks ditulis pada masa HB VI (1869) oleh Raden Tumenggung Sasra Adipura, Bupati Wedana di wilayah Kalasan dan disalin oleh Sastra Pratama Nom, anak Sastra Pratama pada masa HB VII (1881). Sedangkan yang mengarang adalah sentana dalem Pangeran Suryawijaya. Beliau adalah seorang kerabat yang vokal dan menggulirkan konsep suksesi bahwa pengganti Raja haruslah orang Mataram, tetapi tidak harus dari garwa padmi. Rupanya inilah yang menjadi alasan penulisan dan penyalinan Babad Ngayogyakarta HB IV—V kode SB 169.

Peran Dipanegara dimunculkan oleh HB III pada masa HB IV sebagai panutan. Dipanegara adalah putra pertama HB III dari seorang selir, tetapi memilih mempelajari agama di pesanggrahannya di Tegalrejo. Karakter Dipanegara yang religius humanis inilah yang diharapkan oleh HB III ditularkan kepada putranya (HB IV). Banyak bacaan Islam tentang fiqih dan kitab Jawa tentang kepemimpinan yang harus dipelajari HB IV untuk siap menjadi Raja berkarakter Jawa tetapi juga kuat iman Islamnya. Masa HB V, Dipanegara menjadi wali HB V tetapi dalam kenyataannya perannya banyak dilompati oleh Patih Danureja, sehingga beliau tersingkir. Inilah penyebab pecahnya Perang Jawa. Kompeni juga menjadikan pemerintahan Sultan Timur ini sebagai aji mumpung untuk bisa “bermain” dengan leluasa.

Ayat-ayat Quran menjadi ciri tersendiri dalam penyalinan teks, demikian halnya penulisan aksara yang khas. Aksara rekan untuk penulisan Khanjeng Sultan, Khatong menunjukkan teks disalin di lingkungan Islami sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpinnya. Dari sisi kebahasaan teks menunjukkan kebiasaan orang Jawa menyelaraskan bahasa asing ke dalam bahasa Jawa. Fenomena vernakularisasi terekam dalam teks Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi V. Teks menjadi sebuah dokumen baik secara kebahasaan sebagai produk bahasa, maupun secara historis yang melihat Babad sebagai historiografi.


Keyword: Babad Ngayogyakarta HB IV—V, dokumen bahasa, Dipanegara, suksesi, Islam.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !