Para santri kerap kali menuliskan namanya pada lembar pertama kitab yang mereka miliki. Pada lembaran-lembaran berikutnya, tak sekadar membubuhkan makna gandul, tetapi mereka juga terkadang menuliskan hal-hal lain pada ruang-ruang kosong di setiap halamannya, keterangan dari kiainya, misalkan. Pada lembar terakhir, para santri akan mencatat titimangsa ia mengkhatamkan kitab tersebut pada kiainya.
Gus Dur juga kerap kali melakukan hal tersebut. Beberapa buku yang ia pinjam bahkan tak luput dari coretannya. Tentu bukan sekadar coretan biasa, tetapi catatan penting yang tak termuat dalam buku tersebut.
Teks-teks yang dicatat seperti yang dicontohkan di atas dalam kajian pernaskahan (filologi) disebut sebagai parateks.
Lebih rinci, pada seri diskusi naskah Nusantara pertama di Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (10/1), Guru Besar Filologi UIN Jakarta Oman Fathurrahman menjelaskan, bahwa parateks terbagi menjadi dua, yakni periteks dan epiteks.
“Segala sesuatu yang ada di dalam bukunya, tetapi bukan teksnya itu sendiri, bukan matannya,” ujar Oman mendefinisikan periteks. “Kemudian epiteks adalah segala sesuatu yang menyertainya tetapi tidak ada dalam buku,” lanjutnya.
Selain catatan yang ditulis di luar isi matan, iluminasi dan ilustrasi juga termasuk ke dalam periteks. Pun kata pengantar dan endorsment dari ahli ataupun tokoh.
Pria asal Kuningan, Jawa Barat itu mengantarkan para peserta memasuki contoh-contoh terlebih dahulu, sebelum masuk pada teori. Dengan begitu, para peminat kajian naskah itu lebih mudah memahami teori yang dijelaskan setelahnya.
Pada contoh terakhir, ia menghadirkan naskah Hikayat Maharaja Boma. Pada ruang kosong di samping teks aslinya, terdapat tulisan “Jangan beriman” dengan aksara Jawi (bahasa Melayu beraksara Arab). Apa hubungan naskah tersebut dengan tulisan “Jangan beriman?”
“Apa yang ingin Anda kaji ketika melihat ‘jangan beriman’ pada naskah tersebut?” Oman memancing para peserta untuk berdialog interaktif.
“Sikap pembaca,” jawab salah satu peserta.
Jika ditelisik lebih jauh, naskah tersebut berisi cerita tentang agama Hindu. Bila dikaji dari sikap pembacanya, ada kemungkinan, pembaca itu bukan orang Hindu sebab ada larangan percaya terhadap cerita tersebut. Pastinya orang yang berseberangan dengan Hindu secara ideologisnya, Islam mungkin.
Manfaat Parateks
Jika parateks diterapkan dalam studi naskah, maka akan ditemukan budaya dari manuskrip yang dikaji. Peneliti dan penikmat hasil penelitiannya akan mengetahui bagaimana matan naskah tersebut lebih dalam lagi.
“Sebetulnya, parateks yang kita bicarakan tidak mengkaji teksnya. Parateks itu kan untuk memahami text culture-nya,” kata Oman.
Bagi Staf Ahli Menteri Agama itu, saat ini belum lengkap rasanya jika penelitian filologi itu hanya sekadar menyunting dan menerjemahkannya.
“Tidak cukup itu hanya menerjemahkan dan menyunting. Tidak akan nyampe pada makna yang sesungguhnya. Kalau kita ingin memahami betul-betul teks itu. Karena ia tidak berdiri sendiri.”
Mengutip Genette, Oman menyebutkan bahwa parateks adalah tapal batas. Tentu, guna mengetahui makna teks itu lebih dalam lagi, harus melewati tapal batas itu yang disebut parateks.
Oman tidak ngeh pada naskah yang diangkat menjadi tesisnya, Tanbih al-Masyi. Ia mengabaikan coretan-coretan di luar teks aslinya pada empat salinan naskah yang dua terdapat di Leiden dan dua lainnya di Jakarta. Padahal dalam beberapa salinan tersebut, ada catatan Snouck Hurgronje dan Haji Said Al-Batawi.
Menurutnya, kalau catatan-catatan tersebut masuk dalam kajiannya dan turut disusun, “manuscript culture-nya akan lebih bunyi,” katanya.
Kajian parateks akan sangat panjang. Oman mengatakan bahwa dia bisa mengkaji satu halaman untuk sebuah artikel. Hal ini saking kompleksnya kajian.
“Bagi saya, ketika saya mempunyai kerangka pikir parateks, satu halaman ini bisa jadi satu artikel,” ujarnya.
Sayangnya, Oman menyebutkan bahwa penelitian tentang parateks ini belum banyak dikaji.
“Presedennya belum banyak,” katanya. (Syakirnf/Alhafiz K)
Gus Dur juga kerap kali melakukan hal tersebut. Beberapa buku yang ia pinjam bahkan tak luput dari coretannya. Tentu bukan sekadar coretan biasa, tetapi catatan penting yang tak termuat dalam buku tersebut.
Teks-teks yang dicatat seperti yang dicontohkan di atas dalam kajian pernaskahan (filologi) disebut sebagai parateks.
Lebih rinci, pada seri diskusi naskah Nusantara pertama di Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (10/1), Guru Besar Filologi UIN Jakarta Oman Fathurrahman menjelaskan, bahwa parateks terbagi menjadi dua, yakni periteks dan epiteks.
“Segala sesuatu yang ada di dalam bukunya, tetapi bukan teksnya itu sendiri, bukan matannya,” ujar Oman mendefinisikan periteks. “Kemudian epiteks adalah segala sesuatu yang menyertainya tetapi tidak ada dalam buku,” lanjutnya.
Selain catatan yang ditulis di luar isi matan, iluminasi dan ilustrasi juga termasuk ke dalam periteks. Pun kata pengantar dan endorsment dari ahli ataupun tokoh.
Pria asal Kuningan, Jawa Barat itu mengantarkan para peserta memasuki contoh-contoh terlebih dahulu, sebelum masuk pada teori. Dengan begitu, para peminat kajian naskah itu lebih mudah memahami teori yang dijelaskan setelahnya.
Pada contoh terakhir, ia menghadirkan naskah Hikayat Maharaja Boma. Pada ruang kosong di samping teks aslinya, terdapat tulisan “Jangan beriman” dengan aksara Jawi (bahasa Melayu beraksara Arab). Apa hubungan naskah tersebut dengan tulisan “Jangan beriman?”
“Apa yang ingin Anda kaji ketika melihat ‘jangan beriman’ pada naskah tersebut?” Oman memancing para peserta untuk berdialog interaktif.
“Sikap pembaca,” jawab salah satu peserta.
Jika ditelisik lebih jauh, naskah tersebut berisi cerita tentang agama Hindu. Bila dikaji dari sikap pembacanya, ada kemungkinan, pembaca itu bukan orang Hindu sebab ada larangan percaya terhadap cerita tersebut. Pastinya orang yang berseberangan dengan Hindu secara ideologisnya, Islam mungkin.
Manfaat Parateks
Jika parateks diterapkan dalam studi naskah, maka akan ditemukan budaya dari manuskrip yang dikaji. Peneliti dan penikmat hasil penelitiannya akan mengetahui bagaimana matan naskah tersebut lebih dalam lagi.
“Sebetulnya, parateks yang kita bicarakan tidak mengkaji teksnya. Parateks itu kan untuk memahami text culture-nya,” kata Oman.
Bagi Staf Ahli Menteri Agama itu, saat ini belum lengkap rasanya jika penelitian filologi itu hanya sekadar menyunting dan menerjemahkannya.
“Tidak cukup itu hanya menerjemahkan dan menyunting. Tidak akan nyampe pada makna yang sesungguhnya. Kalau kita ingin memahami betul-betul teks itu. Karena ia tidak berdiri sendiri.”
Mengutip Genette, Oman menyebutkan bahwa parateks adalah tapal batas. Tentu, guna mengetahui makna teks itu lebih dalam lagi, harus melewati tapal batas itu yang disebut parateks.
Oman tidak ngeh pada naskah yang diangkat menjadi tesisnya, Tanbih al-Masyi. Ia mengabaikan coretan-coretan di luar teks aslinya pada empat salinan naskah yang dua terdapat di Leiden dan dua lainnya di Jakarta. Padahal dalam beberapa salinan tersebut, ada catatan Snouck Hurgronje dan Haji Said Al-Batawi.
Menurutnya, kalau catatan-catatan tersebut masuk dalam kajiannya dan turut disusun, “manuscript culture-nya akan lebih bunyi,” katanya.
Kajian parateks akan sangat panjang. Oman mengatakan bahwa dia bisa mengkaji satu halaman untuk sebuah artikel. Hal ini saking kompleksnya kajian.
“Bagi saya, ketika saya mempunyai kerangka pikir parateks, satu halaman ini bisa jadi satu artikel,” ujarnya.
Sayangnya, Oman menyebutkan bahwa penelitian tentang parateks ini belum banyak dikaji.
“Presedennya belum banyak,” katanya. (Syakirnf/Alhafiz K)