Sufisme Jawa dalam Serat Gandakusuma: Teks, Tembang dan Peran Perempuan

Manassa
0
Sufisme Jawa dalam Serat Gandakusuma: Teks, Tembang dan Peran Perempuan

Wishnu Prahutomo Sudarmadji

Sufisme telah lama menjiwai kehidupan kerohanian masyarakat Jawa di masa lalu. Tidak terbatas sebagai sebuah praktik mistik di dalam mencapai kesempurnaan spiritual dan kedekatan dengan Tuhan, sufisme sebagai sebuah ajaran dan konsep, menyebar pula melalui karya sastra. Serat Gandakusuma yang menjadi objek kajian adalah salah satunya. Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, korpus naskah Serat Gandakusuma tersimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan Ruang Naskah Perpustakaan Universitas Indonesia. Penelitian ini kemudian memilih naskah Serat Gandakusuma yang merupakan koleksi Ruang Naskah Perpustakaan Universitas Indonesia dengan pertimbangan keterjangkauan dan kelengkapan naskah, serta teks yang utuh dan tidak mengandung rumpang karena hilang, atau kerusakan yang parah. Dengan demikian, teks dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan analisis.

Serat Gandakusuma berkisah tentang perjalanan tokoh utama bernama Raden Gandakusuma. Ia adalah putra Prabu Senapati, raja di negara Bandaralim. Suatu malam, ia diculik oleh salah seorang saudaranya yang bernama Menak Tekiyur, atau Prabu Jaka. Penculikan ini kemudian berujung pada pembunuhan Raden Gandakusuma oleh Prabu Jaka. Tindakan ini dilakukan karena adanya sakit hati Prabu Jaka kepada Prabu Senapati yang kemudian ia balaskan melalui Raden Gandakusuma yang adalah putra kesayangan Prabu Senapati, sekaligus putra mahkota negara Bandaralim. Jenazah Raden Gandakusuma kemudian dibiarkan terombang-ambing di lautan selama empat puluh hari. Serangkaian fenomena alam pun terjadi. Dewi Sarirasa, penguasa inti samudra yang bertahta di Gua Sirrullah pun berkenan meninjau keadaan. Melihat jenazah Raden Gandakusuma, ia tergerak untuk menghidupkannya kembali. Setelah berhasil hidup kembali, Gandakusuma jatuh cinta pada Dewi Sarirasa. Akan tetapi, Dewi Sarirasa tidak serta-merta menerima cinta Gandakusuma. Dewi Sarirasa menguji kesabaran dan keteguhan Gandakusuma selama tiga tahun. Setelah berhasil melewati ujian tersebut, Dewi Sarirasa mengajak Gandakusuma untuk menempuh perjalanan panjang yang kelak akan mengantarkannya kembali pada kemuliaan dan kejayaan.

Tinjauan atas ajaran dan konsep sufisme Jawa yang terdapat dalam teks Serat Gandakusuma dilakukan menggunakan pendekatan struktur dengan melihat fungsi metrum-metrum macapat yang digunakan dalam teks di dalam mewujudkan perjalanan sufi yang dilakukan oleh tokoh Raden Gandakusuma. Tinjauan ini menunjukkan bahwa di samping memiliki karakter yang khas dan nuansa rasa yang berbeda satu sama lain, metrum-metrum macapat juga memiliki fungsi sebagai representasi bagi tahapan-tahapan di dalam perjalanan kerohanian seorang umat guna mencapai kesempurnaan sejati sehingga ia dapat sampai pada apa yang disebut dalam idiom khas mistik Jawa sebagai wruh ing sangkan paraning dumadi (sadar penuh pada asal dan tujuan sebagai makhluk Tuhan), manunggaling kawula Gusti (bersatunya umat dengan Tuhan), dan memayu hayuning bawana (memperindah dan turut menjaga keselamatan serta keindahan semesta). Pijakan dalam melakukan kajian ini adalah apa yang oleh Bernard Arps disebut sebagai “teori tembang” yang antara lain memuat perwatakan khas masing-masing metrum macapat. Bertolak dari deskripsi karakter masing-masing metrum tersebut, ditinjau pula wacana yang dikandungnya di dalam teks, dan sejauh mana kesesuaiannya dengan metrum macapat yang mewadahinya serta kaitan kontekstualnya dengan sufisme Jawa sebagai suatu proses yang memiliki tahapan-tahapan.

Serat Gandakusuma sendiri terdiri atas 38 pupuh atau bab, yang terbagi ke dalam sepuluh metrum tembang macapat. Berdasarkan analisis yang dilakukan, kesepuluh metrum macapat tersebut mewakili masing-masing tahapan dalam perjalanan batin seorang pelaku jalan sufi sebagai berikut:

Asmaradana
Tahapan awal dalam perjalanan sufi. Menggambarkan rasa cinta pada Tuhan sebagai pendorong kuat untuk mencapai kesempurnaan.

Durma
Memerangi hawa nafsu

Sinom
Proses mempelajari, memahami, menyesuaikan, menghayati, dan mengendapkan.

Dhandhanggula
Menjaga keseimbangan jasmani dan rohani

Pangkur
Puncak dari pencapaian spiritual.

Kinanthi
Kemantapan dan kegigihan dalam mencapai kesempurnaan.

Pucung
Tidak memperturutkan emosi.

Maskumambang
Keraguan harus dihilangkan dalam menjalani proses yang tidak mudah, berserah.

Mijil
Pembebasan sejati.

Gambuh
Tujuan akhir yaitu manunggaling kawula Gusti.

Penelitian ini juga mengkaji bagaimana peran perempuan di dalam proses mencapai kesempurnaan seorang pelaku jalan sufi yang didasarkan pada teks. Dalam kajian ini, diketengahkan tiga tokoh perempuan yang kemunculannya dominan di dalam teks Serat Gandakusuma. Ketiga tokoh perempuan tersebut adalah Dewi Sarirasa, Dewi Sariraga, dan Dewi Kalpikawati. Dewi Sarirasa di dalam analisis, memegang peran yang besar karena seperti telah disinggung pada ringkasan isi teks Serat Gandakusuma di atas, dialah yang telah “berjasa” membangkitkan kembali Gandakusuma dari kematian, mengolah batinnya, dan membawa Gandakusuma pada perjalanan yang memampukan Gandakusuma sampai pada taraf kehidupan yang mulia dan juga memantapkan karakter serta jiwa dan spiritualitasnya. Dewi Sarirasa juga berperan sebagai pendamping bagi Gandakusuma, mitra, pembimbing, dan prajurit tangguh yang dapat diandalkan karena kemampuannya bertempur serta kesaktiannya. Dewi Sariraga adalah tokoh perempuan kedua yang juga diberi tempat tersendiri di dalam teks. Meskipun kemunculannya tidak sekerap Dewi Sarirasa, tetapi ia tetap berjasa besar dalam memberi sarana bagi Gandakusuma untuk memulihkan kewibawaan Bandaralim yang lemah pasca peristiwa penculikan dirinya oleh Prabu Jaka, dengan memberinya tahta Gabahbudiman karena ia dianggap telah berhasil menyelamatkan Dewi Sariraga dari sekapan Prabu Dasaboja. Dalam konteks sufisme Jawa, Dewi Sarirasa dan Dewi Sariraga adalah wujud dan syarat kesempurnaan yang diwadahi oleh Gandakusuma, bahwa untuk dapat mencapai kedekatan hubungan dengan Tuhan, seorang umat mesti mampu mengendalikan rasa dan raganya, serta memusatkan diri dan hidupnya semata untuk menghadirkan Tuhan. Di sisi lain, Dewi Kalpikawati adalah tokoh perempuan yang hadir dalam peran yang berlawanan dengan dua tokoh perempuan di atas.

Dalam konteks sufi,kemunculan Dewi Kalpikawati harus dibaca bersama dengan tokoh Raja Kemar, bukan hanya karena keduanya adalah kakak beradik, tetapi karena keduanya merupakan simbol bagi belenggu kebodohan. Dalam konteks sufi, kebodohan merupakan salah satu nafsu yang harus diperangi untuk dapat mencapai kesempurnaan. Dewi Kalpikawati yang pada namanya mengandung kata kalpika berarti cincin, atau kalpa yang berarti zaman, dan Raja Kemar yang berarti keledai yang identik dengan kebodohan, adalah sebuah isyarat bahwa untuk dapat mencapai penyatuan dengan Tuhan, seorang pelaku jalan sufi seperti Gandakusuma, harus menentang atau memerangi belenggu kebodohan. Ikatan kebodohan, atau zaman kebodohan yang dilambangkan oleh Dewi Kalpikawati dan Raja Kemar, harus diputuskan. Dalam teks Serat Gandakusuma, pemutusan ini digambarkan dengan gugurnya Dewi Kalpikawati di medan perang di tangan Dewi Sarirasa.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !