Membaca Naskah Kuno di Zaman Gawai

Manassa
0
Membaca Naskah Kuno di Zaman Gawai

Judul: Dinamika Pernaskahan Nusantara
Penulis: Achadiati Ikram, Annabel Teh Gallop, Edwin P. Wieringa, Jan van der Putten, Mu'jizah, Oman Fathurahman, Sudibyo, Wan Ali Wan Mamat, Willem van der Mollen
Editor: Mu'jizah
Penerbit: Prenada Group bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA), Yayasan Naskah Nusantara (YANASSA) dan Perpustakaan Nasional
Tahun Terbit: 2017
Tebal Buku: xiv + 156 hlm

“Apa gunanya studi naskah Nusantara pada abad ke-21?” adalah judul salah satu artikel dalam buku bunga rampai ini. Seolah tulisan ini ingin menggambarkan pertanyaan yang sering terlontar kepada orang-orang yang masih bertungkus lumus membaca dan mengkaji naskah kuno, sebuah barang dari zaman baheula, di tengah-tengah zaman di mana orang sudah banyak menenteng gawai.

Seperti menatap balik dengan tatapan menohok, alih-alih memberikan jawaban, penulisnya, Edwin P. Wieringa, memberikan pertanyaan terbalik: “Bagaimana mungkin Anda (yang bertanya) tidak tertarik dengan naskah Nusantara? Warisan itu meliputi sampai ribuan naskah dan kita cuma tahu sedikit saja tentang tradisi menulis itu, kok tidak ingin tahu? Kenapa sih begini?” (h. 92).

Demikian salah satu tulisan dari bunga rampai Dinamika Pernaskahan Nusantara. Ditulis oleh para pendekar naskah Nusantara (para ahli filologi dan kodikologi), dalam dan luar negeri, dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset. Nama-nama yang sudah tidak asing bagi kalangan pencinta naskah Nusantara, seperti mahaguru kajian naskah Nusantara Achadiati Ikram, Oman Fathurahman, Mu'jizah, Sudibyo dan beberapa sarjana asing yang menekuni bidang ini, seperti Willem van der Mollen, Edwin P. Wieringa, Anabel Teh Gallop, Jan van der Putten dan Wan Ali Wan Mamat sarjana pengkaji naskah dari Malaysia.

Buku ini sebenarnya merupakan sebuah kesaksian atas kiprah Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), sebuah organisasi profesi yang menghimpun berbagai kalangan, baik dari akademisi, peneliti maupun masyarakat umum, yang mempunyai kesamaan visi bagi kelestarian naskah kuno Nusantara, juga diterbitkan dalam rangka kerjasama 20 tahun organisasi ini dengan Perpustakaan Nasional, lembaga yang juga banyak mendukung aktivitas pernaskahan Nusantara. Namun, kendatipun ditulis sebagai kesaksian sebuah organisasi, tentu saja di dalamnya akan sangat terkait dengan dinamika kajian pernaskahan yang menjadi fokus aktivitas organisasi ini, maka tema-tema yang dibahas pun tidak terlalu eksklusif, bahkan banyak memberikan pengetahuan mengenai perkembangan kajian naskah kuno Nusantara, bagi siapa pun yang berminat terhadap kajian serupa.

Misalnya, Annabel, Filolog cum Pustakawan di British Library ini menulis sebuah tema yang unik, yakni soal media sosial Facebook dan kontribusinya dalam kajian naskah dewasa ini. Tulisan ini sebetulnya adalah pengalaman dirinya dalam melakukan identifikasi teks-teks klasik, seperti ketika risetnya tentang illuminasi naskah mushaf al-Qur'an hingga soal stempel-stempel kuno di dunia Melayu-Nusantara. Dengan media Facebook, ia mampu menghimpun masukan, saran dan diskusi tentang persoalan-persoalan yang disebarkan melalui media tersebut. Tentu, ini salah satu strategi bagaimana memanfaatkan teknologi informasi di abad ke-21.

Tulisan Gallop seakan memberikan jawaban atas kritik sebagaimana tercermin dalam tulisan Sudibyo. Menurutnya, kajian naskah selalu ketinggalan zaman dan tidak atraktif, sehingga cenderung akan ditinggalkan orang (h. 129). Nyatanya, Gallop tidak ketinggalan zaman, ia mampu memanfaatkan perangkat teknologi modern untuk kepentingan kajian naskah. Sangat dimungkinkan, bukan semata orang-orang yang hanya memiliki minat terhadap naskah, lewat jejaring pertemanan media Facebook, orang-orang yang tadinya tidak tahu, menjadi tahu, tidak suka akhirnya menjadi suka.

Lewat tajuk 'Kemaritiman Indonesia dalam Naskah dan Laporan Lama' (h. 109-118), Achadiati Ikram juga seolah memberikan jawaban atas kegalauan tulisan Sudibyo. Dengan menelaah sejumlah teks-teks dan laporan-laporan lama, Ikram memberikan kesimpulan bahwa laut, khususnya Laut Jawa mempunyai peran utama dalam kehidupan ekonomi, politik dan budaya penduduk pesisirnya, yang eksistensinya serta dunia spiritualnya dibentuk oleh perairan di sekelilingnya. Ikram telah membuktikan bahwa naskah-naskah Nusantara memberikan kesaksian tentang kegemilangan dan bagaimana masyarakat Indonesia tempo dulu mengelola laut sebagai negara maritim, sebuah isu yang kini banyak diperbincangkan.

Namun, kritik Sudibyo terhadap kajian naskah masih relevan. Sebab, menurutnya sampai kini banyak sekali hasil-hasil kajian filologi yang berupa suntingan teks tidak dimanfaatkan untuk tidak mengatakan tidak bermanfaat, bagi problem sosial dewasa ini. Jadi, tulisan Sudibyo penting sebagai penanda atau alarm bagi kalangan pengkaji naskah untuk senantiasa terus menerus mencari relevansi bidang studinya bagi kepentingan orang di abad ke-21 ini.

Maka, sebagaimana dituliskan oleh Fathurahman (h. 95-108), sinergi keilmuan yang interdisiplin, atau bahkan multidisiplin selayaknya dikembangkan dalam tradisi kajian naskah-naskah Nusantara di Indonesia, sehingga penelitian filologis tidak hanya menghasilkan suntingan teks dan terjemahan, tetapi juga memberikan kontribusi atas konstruksi sejarah sosial kemanusian sesuai konteksnya masing-masing. Hal ini, menurut Fathurahman mulai tampak dalam hasil-hasil kajian naskah yang berlatar belakang disiplin kajian Islam di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).

Demikianlan, buku ini memberikan banyak perspektif tentang pasang surut perkembangan kajian di bidang pernaskahan, dari yang sifatnya sangat akademis, seperti ditunjukkan oleh tulisan Willem van der Mollen tentang perkembangan katalogisasi naskah Nusantara, koleksi naskah-naskah Riau oleh Mu'jizah, tentang naskah-naskah Melayu di Malaysia oleh Wan Ali Wan Mamat, soal perkembangan digitalisasi dan komputerisasi naskah Nusantara oleh Jan van der Putten, hingga yang sifatnya tulisan reflektif tetapi tidak mengurangi kadar keilmiahan tulisan seperti tulisan Fathurahman. Tentu masih ada daftar nama-nama pengkaji naskah lain yang belum memberikan kesaksiannya atas dinamika kajian naskah Nusantara, seperti Henri Chambert-Loir atau beberapa nama lain. Namun, kiranya dari beberapa sarjana yang menulis dalam buku sudah memberikan gambaran, meskipun tidak menyeluruh, atas perkembangan kajian naskah Nusantara.

Bagi siapa saja yang masih mencintai warisan masa lalu bangsa, maka buku ini patut dibaca. Sebagaimana diungkapakan Wieringa, ahli warisnya sendirilah yang sangat bertanggung jawab bagi kelangsungan warisan tersebut. Tentu sebagai ahli waris warisan tersebut di abad ke-21, naskah-naskah Nusantara menjadi sesuatu yang bukan saja berharga, tetapi bermanfaat buat masa kini dan masa depan bangsa. Memang, tampak paradoks, apa gunanya masa lalu disandingkan dengan masa kini, bahkan masa depan, tetapi mengutip sejarawan UIN Jakarta, Fuad Jabali, “busur panah semakin kuat ditarik ke belakang, maka anak panah akan semakin melesat jauh ke depan.” Begitulah arti penting sejarah yang terkandung dalam warisan naskah Nusantara.

Agus Iswanto, peneliti naskah keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang, anggota pengurus MANASSA. Resensi ini pernah dimuat dalam dalam Kolom Pabukon, Harian Pikiran Rakyat, 8 Juni 2017, perubahan hanya dalam judul.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Oke!) #days=(20)

Website kami menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman anda. Check Now
Accept !